"Guntur sahabat lo, wajar kalau lo sayang. Gue bukan siapa-siapa lo, buat apa disayang? Udah nangisnya. Jangan buang air mata untuk hal sia-sia." Adit sekuat mungkin berusaha berpikir jernih, tapi tangisan Gesna membuat tangannya bergerak di luar kendali. Dia menarik dagu Gesna dan mengusap air mata.

"Bukan siapa-siapa?" ulang Gesna. Ada yang mencubit hatinya hingga terasa sakit. Melihat Adit mengangguk, hati Gesna semakin teriris. Air mata Gesna semakin berjatuhan. Bagaimana dia bisa menyakiti perasaan orang lain dengan sangat kejam.

"Adit," raungnya kembali memeluk. Dia tidak bisa berhenti menangis. Dia takut jika berhenti menangis, Adit akan pergi. Gesna sedang berusaha menjelaskan perasaan kepada lawan, melucuti kelemahan pertahanan dan bersedia dimatikan. "Aku enggak bisa lupa kamu. Aku enggak bisa. Aku kangen kamu. Kamu masih nggak ngerti juga?"

Cowok itu membeku, tapi Gesna dapat mendengar debar keras dari balik dada yang dia peluk. "Adit...."

Adit hanya bisa menelan ludah. Gesna selalu bisa menggoyahkan akal sehatnya. Logikanya mati dan otaknya kosong. Semua keputusan kemarin mendadak porak poranda apalagi ketika Gesna berlutut, menyamakan tinggi wajah mereka untuk mendekatkan wajah dan mengecup bibir Adit.

Tangan Adit langsung menahan pipi Gesna agar cewek itu tidak mengecup kedua kali. "Gesna, jangan kayak gini."

"Bukan siapa-siapa?" tanya Gesna masih tidak peduli, menarik tangan Adit yang menghalangi dan kembali mendekatkan muka. "Bilang lagi bukan siapa-siapa."

Embusan napas cewek itu bahkan ikut terhirup Adit. Harusnya dia tidak perlu kaget dengan kenekatan cewek ini. Walaupun begitu, tetap saja ada yang melompat liar di dada Adit. "Yang ngomong begitu kan kamu, bukan aku," dalihnya berusaha terdengar enteng sambil menaikkan sebelah alis, menatap mata berair itu.

Cewek itu mencebik, memukul bahunya pelan. "Ngeselin," ujar Gesna sambil kembali duduk di balik pintu.

"Kamu?" balas Adit. Yang mengesalkan kan memang Gesna, segala tingkah lakunya janggal sekali.

"Kamulah! Jadiin orang taruhan."

Adit berdecak sambil menggeleng tidak habis pikir. "Udah dibilang taruhan itu enggak ada, Gesna. Aku nggak suka main-main dengan perasaan. Aku juga waktu itu enggak ada maksud mainin kamu. Beneran. Susah sih memang kalau pada dasarnya enggak percaya."

Mereka sama-sama terdiam, memandang ruang tengah yang berantakan karena tas dan sepatu Gesna terlempar ke sembarang tempat.

"Aku pulang aja, bakal enggak baik buat kita kalau aku lama di sini. Aku enggak mau ganggu kamu. Jangan nangis terus nanti kamu sakit." Cewek itu kembali memeluk dada Adit ketika dia hendak berdiri. "Gesna, jangan kayak gini. Kamu bikin bingung," keluh Adit yang berperang kembali dengan hati dan otak.

"Bingung kenapa?"

"Kamu bikin orang berharap," jawab Adit berdecap.

"Berharap apa?"

Adit berdengkus pelan. Cewek ini benar-benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu. Dia mencoba bangkit dan melerai pelukan. "Udah, ah. Keburu malam."

"Jawab dulu, berharap apa?" paksa Gesna sambil memegang sebelah kaki Adit kuat-kuat sehingga tidak bisa melangkah. Gila, maksud Gesna apa coba?

"Berharap yang lebih, Gesna." Adit mencoba untuk melangkah, tetapi Gesna malah mengganduli kakinya. Mirip anak yang merajuk minta dibelikan permen.

"Enggak jelas! Katanya nilai bahasa Indonesianya sembilan?" Cewek itu mencibir dengan memasang muka yang menyebalkan di antara mata bengkak. "Jelasin!"

Adit kemudian berlutut dengan sebelah kaki, menatap tepat mata Gesna. Semoga dengan ini semua selesai. "Berharap jadi pacar kamu lagi. Udah, 'kan? Ya udah, aku pulang," sahut Adit kembali bangkit.

MATAHARI APIWhere stories live. Discover now