Masa Lalu Yang Kelam

Mulai dari awal
                                    

"Kamu bebas main di sini. Papa mau mandi dulu, udah bau," kata Yasa. "Kalau kamu mau coba video game, ada di lantai dua. Yang pintunya warna kuning emas."

"Vano boleh main beneran?"

"Iya, dong. Masa gak boleh."

Izin dari Yasa membuat Devano berjingkrak kecil dan berteriak senang. Tanpa diperintah lagi, dia telah berlari menuju lantai dua dengan penuh semangat.

"Awas nyasar! Rumah ini gede banget soalnya!" teriak Yasa.

"Cih. Sombong banget," kata Nayla sinis.

Yasa menoleh. "Biarin. Gue sombong karena emang punya. Kalau gak punya mau nyombongin apaan? Gue gak pernah, ya, ngelakuin hal yang gak guna kaya tangisan patah hati lo itu."

Nayla lagi-lagi dibuat geram oleh tingkah makhluk yang satu ini. "Oh, ya. Yakin banget gak pernah ngelakuin hal gak berguna. Terus apa kabar tangisan kamu dua bulan lalu? Sama-sama patah hati jangan suka ngeledek orang, deh."

"Lo-"

Nayla tersenyum puas melihat pria itu kehabisan kata dan memilih mengalah. Dia pergi masuk rumah lebih dulu dibanding melanjutkan obrolan mereka.

Ketika telah sampai di dalam. Mata Nayla tak berhenti menyisir sekeliling. Ada satu hal yang menarik perhatiannya. Yaitu sebuah figura besar yang terpajang apik di dinding, terdapat pula foto keluarga di dalamnya. Dua orang tua dan Yasa berada di antara mereka.

Namun, mata Nayla tak menangkap satu pun dari orang tua itu yang menyerupai Yasa. Jika Yasa memiliki tinggi sekitar 185 cm lebih dengan kulit putih pucat, mata sipitnya pun tak menunjukkan kemiripan sama sekali.

Orang tua di sampingnya seperti kebanyakan orang Indonesia asli. Dengan kebaya yang dikenakan oleh seorang wanita, pria paruh baya di sampingnya berdiri tegap dengan batik cokelat.

Nayla terhenti di depannya tanpa melepas pandangan. "Yas. Apa mereka orang tua kamu?" tanya Nayla pada Yasa yang ikut berdiri di sebelahnya.

Pria itu terdiam. Pandangan sayu tepat mengarah pada foto besar di hadapannya. Nayla merasa, ada sesuatu yang salah. Ketika dia seharusnya menolak keras atas siasat Yasa yang mengajaknya ke rumah ini. Tetapi tetap saja dia mengikutinya.

Apa begitu besar pengaruh Yasa baginya dan Devano? Mungkin ... ya. Tapi bisa jadi karena ada alasan lain. Di mana Nayla bisa merasakan hangat bersama Yasa. Kedewasaan yang terselip di antara sifat Yasa, memang hanya hanya bisa terlihat sekilas, tapi itu tulus.

"Kenapa? Bokap gue ganteng, ya? Apalagi nyokap gue, cantiknya gak kalah kan, sama bidadari," jawab Yasa dengan senyum tipis.

Nayla mengangguk pelan. "Buat kali ini saya setuju sama ucapan kamu, mereka berdua pasti orang baik. Tapi saya heran, bisa-bisanya kamu jadi urakan kaya gini."

Yasa tersenyum miring. "Dih, sejak kapan lo peduli sama gue? Oh, atau jangan-jangan lo merhatiin gue dari belakang. Ye, kan? Udah deh, ngaku aja. Jangan jaim sama calon suami sendiri," kata Yasa dengan seringai liciknya.

"Yas. Saya belom ngasih jawaban ke kamu, ya! Harusnya kamu bisa bedain mana paksaan sama bukan."

"Bodo. Mau ngasih jawaban atau enggak, lo tetep bakal jadi istri gue. Tapi, kalau lo mau jalur resmi gak apa juga, sih. Gue kasih waktu buat lo jawab. Dan kalau sampe lo gak jawab, gue tinggal mepetin Vano biar lo terima gue."

"Apa?" Mata Nayla membulat sempurna. Sepertinya dia keliru sedikit tentang pria itu. Ternyata selain menyebalkan, Yasa pria pemaksa dan keras kepala. "Jangan main-main, Yas-"

"Bentar lagi Wina dateng nganterin makanan. Lo temenin Vano sana, bahaya kalau dia sampe pegang-pegang kabel listrik." Yasa pergi dari sana tanpa mempedulikan Nayla yang mengomel tak jelas.
***
"Assalamualaikum, Pak Bos! Pesenan dateng, nih!"

Suami Bar-Bar Dokter CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang