Dilema ....

349 54 16
                                    

"Mau apa lagi? Ini masih pagi, ya. Saya sibuk, gak ada waktu buat ngeladenin nyinyiran kamu," kata Nayla saat matanya tertuju kepada sesosok tubuh jangkung yang berdiri di samping kulkas.

"Yaela, lo kalau ngomong udah kayak gledek nyamber pohon. Gue diem aja udah kena, apalagi kalau kata-kata mutiara gue keluarin semua? Asal lo tau, semua omongan gue berbobot. Gak kosong dan anti hoax."

Nayla terkekeh geli. "Anti hoax? Apa kabar orang yang katanya sehat semalem?"

"Acieee, yang udah mulai perhatian sama gue. Gue tau, kok. Udah, lo gak perlu lagi jaim-jaiman sama gue."

"Dih ... tau apa kamu? Jangan geer, deh," kata Nayla seraya memiringkan senyum. "Minggir, saya mau lewat."

Dia memosisikan sarapan di meja makan dan pria itu mengikutinya bagai anak yang menunggu disediakan makanan oleh ibunya. Cengiran tengil Yasa setelah menggoda cukup mengganggu bagi Nayla, entah siasat apa lagi yang akan dilakukan pria itu nantinya.

Sedangkan, Yasa yang baru saja selesai mandi melangkah ke arah dapur karena indra penciumannya yang tajam menangkap wewangian menggiurkan dari arah sini. Aroma dari cumi-cumi dan daging ayam menusuk hidungnya dari kejauhan.

Dia melihat Nayla yang berada di dapur bersama satu orang asisten rumah tangga. Wanita itu sibuk, tangannya seolah sudah fasih atas apa yang harus dilakukan. Yasa tersenyum, dalam pikirannya, Nayla sudah lebih dari pantas sebagai seorang istri dan ibu. Pasti beruntung sekali pria yang menikahinya nanti.

"Vano di mana, Bi?"

"Den Vano--"

"Masih tidur dia. Udah, jangan dibangunin," sela Yasa saat Nayla bertanya kepada pengasuh Devano.

"Gimana bisa jangan dibangunin? Kamu mau anak saya jadi pemales, gitu?" protes Nayla.

"Terus lo maunya dia lari-larian sampe jatoh pas liat gue pergi kayak kemaren?"

Pertanyaan yang dikembalikan Yasa sukses membuat Nayla bungkam. Cukup masuk akal juga, dan pastinya Yasa melimpahkan penuh alasan setelah kepergiannya.

"Ya, udah. Cepetan dimakan. Biar kamu cepet pergi dari rumah saya."

Yasa mencebik. Dia rasa mulai terbiasa dengan omelan-omelan dokternya yang kelewat pedas dan jujur. Dia pun segera menyendok nasi beserta lauk ke piringnya tanpa menunggu siapa pun lagi karena dia harus cepat pergi. Lumayan, di apartemen tidak ada stok makanan dan dia malas membeli di luar.

"Kenapa malah ngelamun?" tanya Nayla. Pria itu terdiam setelah melahap satu suapan ke mulutnya.

"Masakan lo hambar. Gak ada rasanya." Yasa berbohong. Padahal, dia berhenti karena baru kali ini dia memakan masakan rumah yang sangat enak, cita rasa dengan bumbu kuat dan meresap ke dalam makanan.

"Ck. Masih untung saya sediain makan. Bukannya terima kasih."

Yasa tak peduli dengan perkataan wanita itu. Bahkan dalam sekejap, satu porsi nasinya sudah hampir habis. "Biar lo seneng. Gue makan lagi," kata Yasa seraya menambah nasi beserta lauknya lebih banyak.

Nayla tersenyum geli saat memerhatikan cara pria itu makan. Sangat lahap sekali sampai habis dua piring penuh. "Katanya hambar. Lahap banget makannya," ejek Nayla kemudian.

"Gue harus ngehargain tuan rumah. Makanya gue makan banyak."

"Iya, Mr. Gengsi."

***

Yasa bersiap hendak pergi dari rumah Nayla pagi ini. Saat dia lihat jam di tangan, waktu masih menunjukkan pukul 08:00. Masih ada waktu ke apartemen untuk mengemasi pakaian dan berangkat ke Makassar.

Suami Bar-Bar Dokter CantikWhere stories live. Discover now