Keputusan Terakhir.

408 54 9
                                    

Yasa melangkah cukup bersemangat ke arah sebuah rumah berlantai dua nan mewah milik rivalnya. Sebuah paper bag berisikan mainan kereta berukuran besar dijinjingnya, setelah dia mengubek seisi mall. Rencananya, dia akan memberikan ini untuk Natha. Keponakan yang didapatnya dari Thea.

Jangan tanya kenapa bisa dia ada di sini sekarang. Sebab, dua hari lalu dia sudah keluar dari rumah sakit dan merasa tubuhnya lebih baik. Yasa memencet bel rumah, sekitar jam dua belas siang dia datang. Tepat di waktu istirahat dan makan siang gratis pastinya.

"Eh ... Masnya lagi. Cari siapa, Mas?" tanya Bi Sari saat membukakan pintu.

"Nyari anak kucing. Bibi liat gak, ada anak kucing nyasar ke sini?"

"Hah? Anak kucing?" Bi Sari melongo. Masih belum menangkap perkataan Yasa.

"Ya, nyari yang punya rumahlah, Bi. Nanyanya aneh-aneh mulu, dah."

"Oh. Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam--"

Yasa melangkah masuk sebelum Bi Sari menyelesaikan kata. Dia tak sabar ingin bertemu Thea dan keponakan kecilnya di dalam. Masa bodoh dengan si makhluk astral yang pasti akan protes keras karena dia terus datang ke rumah mewahnya ini.

Terdengar riuh suara orang dari arah depan, Yasa berjalan berniat mengganggu mereka seperti biasa.

"Piii ... ndong aku!" Suara bocah berusia dua tahun terdengar meminta digendong. Yasa mendadak terhenti di ambang pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.

Tampak Galang melipat lengan kemeja panjangnya sampai ke sikut untuk meraih tubuh mungil anak itu tinggi-tinggi dan ditaruh di pundak kokohnya. Anak itu bukannya takut, tapi malah tertawa. Thea setia menemani seraya memegang makan siang Natha di tangannya.

"Yuhuuu! Anak papi udah gede. Udah lebih tinggi dari papi!"

"Pecawat!"

"Hmh? Kau mau terbang? Oke! Papi jadi pesawatnya, kamu pegangan yang kuat."

Anak itu semakin tertawa keras ketika tubuh kecilnya berayun mengikuti tubuh tegap Galang yang menirukan pesawat.

"Mas, udah. Waktunya Natha makan dulu. Ini gimana mau kenyang kalau main terus," protes Thea.

"Mau makan juga. Tapi males ngambil nasi, suapin." Galang menyodorkan mulutnya ke arah piring nasi dengan sayuran makan siang Natha.

"Allahu Akbar. Kamu udah jadi ayah tapi kelakuan kayak Natha. Malu tau sama anak."

"Kenapa harus malu? Natha aja nggak protes ... wleee."

Cukup sudah! Yasa ingin bertahan lebih lama, atau menghampiri mereka bertiga untuk mengganggu. Namun, dadanya begitu sesak dan sakit. Ini bahkan lebih sakit dari saat dia masuk rumah sakit kemarin.

Kebahagiaan mereka. Andai saja dia yang ada di posisi Galang, andai saja dia jadi ayah, andai saja dia jadi seorang suami dari Arasella Theana Polland. Mungkin hidupnya tidak akan sehancur ini.

Yasa menaruh perlahan paper bagnya di lantai agar tak mengusik kebahagiaan mereka. Kemudian dia berlalu tanpa berpamitan lagi.

***

Di malam hari, sekitar delapan tahun lalu. Hujan turun begitu deras membasahi seluruh sudut kota Makassar. Yasa yang kebetulan akan pulang ke rumahnya melihat penampakkan sesosok gadis muda berjalan tergopoh di pinggir jalan di tengah hujan. Dia penasaran, apa yang membawa gadis itu sendirian di malam gelap, dingin dan lembab ini.

Yasa setia mengikuti gadis itu dari belakang. Dia belum bertanya, menyapa atau membuat gadis itu menyadari keberadaannya. Dia ingin tahu ke mana arah kaki jenjang itu mengajaknya berjalan.

Suami Bar-Bar Dokter CantikWhere stories live. Discover now