Hukum menghadiri undangan non muslim

57 1 0
                                    

21 juni 2020

Bismillah...

Tema : Hukum menghadiri undangan non muslim

-----🌿------


Allah berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ

Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah ditanamkan keimanan dalam hati mereka dan mereka dikuatkan dengan cahaya dari-Nya.” (QS: Al Mujadilah 22).

Interaksi orang mukmin kepada orang kafir yang sampai pada tingkatan adanya loyalitas dirinci menjadi dua, karena alasan dunia dan agama.

Pertama, Loyalitas karena dunia:
– Ada kebutuhan yang tidak mungkin bisa dilepas dari dirinya, seperti loyalitas kepada istri yang masih kafir atau anak kepada orang tuanya yang masih kafir atau karena hubungan kekerabatan lainnya. Loyalitas semacam ini dibolehkan sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya Abu Thalib dan keluarganya yang lain yang mati kafir.

– Semata-mata untuk tujuan dunia dan tidak ada kebutuhan yang mendesak bagi kehidupannya, seperti hubungan bawahan yang muslim kepada atasan yang kafir. Loyalitas jenis kedua ini tidak dibolehkan bahkan pelakunya Allah sebut sebagai orang yang tersesat dari jalan yang lurus. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Kedua, Loyalitas karena agama:
– Semata-mata karena agama orang kafir, misalnya cinta kepada orang nasrani karena ajaran trinitasnya atau paham pluralisme-liberal yang menganggap semua agama sama. Untuk loyalitas model ini ditegaskan para ulama sebagai bentuk kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

– Berpihak dan melindungi orang kafir dengan maksud agar orang kafir bisa mengalahkan kaum muslimin. Syaikh Muhammad At Tamimi menegaskan bahwa perbuatan ini diantara pembatal Islam (10 Pembatal Islam, pembatal kedua – karya Syaikh Muhammad At Tamimi).

Dua jenis loyalitas inilah yang dibicarakan dalam surat Al Mujadilah ayat 22.

– Membantu orang kafir dengan maksud agar orang kafir tersebut bersedia untuk membantunya. Loyalitas jenis ini tidak sampai menyebabkan pelakunya kafir namun termasuk perbuatan dosa dan kesesatan. Dalilnya adalah kasus Hatib bin Abi Balta’ah radliallahu ‘anhu yang mengirim surat kepada keluarganya yang masih kafir dan tinggal di Mekah beberapa saat sebelum penaklukan kota Mekah. Padahal surat itu berisi rahasia yang akan dilakukan kaum muslimin kepada orang musyrikin Mekah. (kisah ini diriwayatkan Al Bukhari 3007 dan Muslim 2494).

(rician ini merupakan penjelasan dari Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Lih. Fatawa Al Aimmah fii An Nawazil Al Mudlahimmah)

Untuk itu, interaksi dengan orang kafir dalam masalah duniawi biasa, yang tidak sampai pada hubungan kecintaan (loyalitas), seperti jual beli, menghadiri undangan jamuan makan, atau hal-hal mubah lainnya maka hal ini diperbolehkan, selama tidak menimbulkan bahaya bagi orang muslim. Bahkan jika mendatangi undangan mereka bisa menjadi sarana untuk dakwah agar masuk Islam maka hal ini sangat ditekankan. (Fatwa Lajnah dalam Fatawa Al Islam, 1:6407).

Berkaitan dengan undangan walimah orang kafir, mayoritas ulama berpendapat tidak wajibnya menghadiri undangan mereka. Namun mereka berselisih pendapat apakah dianjurkan ataukah dimakruhkan. Dalam hal ini ada dua pendapat.

Dalam Nihayatul Muhtaj (kitab Fiqh Madzhab Syafi’i) disebutkan: “Tidak wajib menghadiri undangan orang kafir, tetapi dianjurkan jika ada harapan masuk Islam, kerabat dekat, atau tetangga.”  (Nihayah Al Muhtaj ila Syarh Al Minhaj, 21:356). Sedangkan dalam madzhab Hambali ada dua pendapat. Sebagian menyatakan boleh dan tidak makruh, sebagian lain menyatakan makruh.

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya: “Apakah undangan orang kafir dihadiri?” Beliau menjawab: “Ya.” Zhahir perkataan Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa beliau membolehkan dan tidak memakruhkannya. Bahkan kata Syaikhul Islam, perkataan Imam Ahmad ini bisa dipahami bahwa mendatangi undangan orang kafir hukumnya wajib. Karena sikap Imam Ahmad yang meng-iya-kan pertanyaan mungkin untuk dimaknai: “Ya, sebagaimana undangan orang muslim, yang statusnya wajib dipenuhi.” Sementara Az Zarkasyi berpendapat terlarangnya menghadiri walimah orang kafir. Beliau berdalil dengan terlarangnya memberikan salam dan mengunjungi orang kafir. (Al Inshaf, 13:146).
 
Wallahu a’lam

***


Sumber :
Konsultasisyariah.com

Semoga bermanfaat 🤗

Fiqihnya WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang