Kejujuran Itu Sulit ...

Mulai dari awal
                                    

Nayla mengulum bibir, dia menahan kesal. Ada benarnya juga yang dikatakan Yasa. Tapi, Nayla sangat tidak mengerti kenapa dia marah terhadap Yasa sekarang. Dia hanya terlalu sedih melihat keadaan Devano karena keinginannya bersama Yasa.

"Mama kenapa nyuruh Papa pergi? Jadi Mama yang bikin Papa mau ninggalin Vano?"

Pertanyaan polos Devano memancing beribu pertanyaan di hati Galang dan Thea. "Ma-Mama? Nay ... dia--"

Nayla memijat pelipis sejenak. Dia lupa kalau tidak memberitahu tentang keberadaan Devano selama ini. Juga mengakui bahwa dia telah memiliki anak diluar nikah kepada mereka.

"Dia anakku," jawab Nayla singkat karena bingung harus memulai dari mana. Dia kembali melihat ke arah Devano yang berada di pelukan Yasa. "Ayo, ikut mama pulang. Biar mama yang ngerawat kamu di rumah."

Nayla mengabaikan ekspresi terkejut dua sahabatnya. Dia terfokus kepada Devano yang enggan beralih dari pelukan Yasa, anak itu menggeleng pelan. Menolak ajakannya. Membuat luka di hati Nayla semakin menganga karena menyadari Devano mulai ketergantungan Yasa.

"Nggak mau."

"Vano, ikut mama pulang!"

"Vano bilang nggak mau! Nanti Papa ninggalin Vano lagi. Kalau Vano pulang, Papa juga harus ikut pulang. Kalau nggak, Vano pengen ikut ke rumah Papa aja."

"Vano, kamu berani bantah mama? Selama ini mama yang ngebesarin kamu! Ngasih apapun yang kamu mau! Bukan orang ini!" Nayla bersuara keras, dia menarik tubuh Devano dengan paksa. Namun, tarikannya ditolak mentah oleh anak itu hingga hampir membuatnya terjatuh dari pelukan Yasa, dia tidak sengaja. Rasa bersalah hebat bersarang di dadanya melihat mata Devano berkaca-kaca.

"Mama jahat!" Devano menangis keras, baru kali ini dia mendengar suara Nayla sekeras tadi padanya.

"Lo apa-apaan, si? Kalau anaknya gak mau, jangan dipaksa! Jadi gini cara lo ngurus anak?" Yasa melepaskan pegangan Nayla pada Devano dan membenarkan posisi gendongannya. "Udah. Jangan nangis, masa anak cowo nangis mulu. Jangan nurunin harga diri, dong," kata Yasa sekaligus menyeka air mata Devano.

"Iya, deh. Enggak nangis."

Wanita itu menahan tangis, menyeka setetes air matanya dengan jemari pelan. Yasa tahu mereka ada dalam posisi sulit.

"Harus dengan cara apa supaya Vano lepas dari kamu? Tolong jangan memperumit keadaan. Kamu bilang gak mau ngasih harapan palsu ke anak saya, 'kan? Tolong kasih Vano ke saya, Yas." Nayla mengulurkan tangan, berharap Devano luluh setelah dia menurunkan suaranya.

"Papaaa. Ayo, cepetan pulang. Ke mana aja, deh. Asal Vano bisa sama Papa. Badan Vano lemes banget, pengen tidur."

Nayla tampaknya harus menelan kekecewaan lebih dalam. Penolakan halus Devano nyatanya menusuk tepat di hatinya. Anak itu memilih menyembunyikan wajah di ceruk leher Yasa demi menghindarinya.

"Gue tunggu di rumah lo, biar puas!" ucap Yasa menekankan. Dia membawa Devano masuk dalam mobil yang sejak tadi disewanya. Malas berdebat panjang dengan wanita itu di jalan.

Sedangkan Nayla sendiri hanya bisa menatapi kepergian mobil mereka dengan isak tangis. Dia sedih, Devano melupakannya demi seseorang yang baru ditemuinya kemarin siang.

Nayla merasakan usapan lembut di bahunya oleh Thea. "Biar aku anterin kamu pulang, ya. Aku khawatir kalau kamu bawa mobil sendiri dalam keadaan kaya gini," ujar Thea. Sesudah itu dia melihat ke arah Galang. "Kamu gak apa-apa kan, bawa mobil sendiri? Aku mau anter Nayla dulu."

"Iya, The. Aku ngikutin kalian dari belakang."

Thea mengangguk. Dia pun menuntun Nayla masuk ke mobilnya dan mengantarnya pulang.

Suami Bar-Bar Dokter CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang