Sumpah demi apa pun, Gesna sudah ingin menangis. Suara itu sangat dirindukannya. "Gue mau ngomong," ujar Gesna ikut duduk di samping Guntur.

Mereka berdua lalu sama-sama diam, melihat lapangan basket yang sepi dengan kenangan yang tertanam di setiap inci.

Sebelum memulai, Gesna berulang kali menarik napas. Berat sekali untuk bicara. "Gue nggak tahu kenapa, tapi kok gue merasa lo berubah, ya?" desisnya parau.

Mata Gesna tetap memandangi lapangan. "Gue sms, gue telepon, gue chat, nggak lo balas. Lo menghilang gitu aja, latihan juga nggak datang. Sampai-sampai gue tahu lo pacaran aja dari Instagram."

Guntur masih diam. Tangan panjang cowok itu memutar-mutar botol plastik yang isinya udah tandas.

"Gue ganggu, ya? Gue nggak maksud mau ganggu lo, sih. Gue tahu kok lo udah punya pacar. Ya, tapi jangan gara-gara pacaran lo jadi nggak latihan, jadi nggak balas telepon gue, nggak balas sms atau pesan gue. Pacar lo marah ya kalau gue ngehubungin lo?"

Gesna melirik ke sebelah dan Guntur seperti tidak tergerak untuk berbicara.

"Gue ada salah?" tanya Gesna lagi. "Ngomong kali, Gun."

"Menurut lo?" Guntur mulai bersuara. Cowok itu menoleh ke arahnya.

Gesna menggeleng dengan muka sendu. "Gue nggak tahu, makanya gue tanya."

Guntur kembali diam, membuat Gesna kehilangan kata-kata. Mereka tidak pernah secanggung ini.

"Bilang sama cewek lo, gue tahu memosisikan diri jadi sahabat, kok. Gue cuma pengin sahabat gue nggak berubah. Gue nggak ada maksud apa-apa." Gesna mulai berdiri dan meraih tas. "Ya udah kalau lo nggak mau ngomong, gue pulang dulu. Selamat ya Gun buat jadiannya. Semoga kalian berdua bahagia dan langgeng."

"Ge..." Secepat kilat Guntur meraih lengan Gesna, mengajak cewek itu duduk kembali. Cowok itu menatap Gesna dengan pandangan getir. "Lo sendiri, gimana? Bahagia sama Bang Adit?"

Demi sinar matahari yang masih ganas pada pukul lima sore, Gesna membuka mulut tanpa sengaja. Kenapa Guntur bisa tahu kabarnya dengan Adit?

Guntur mengangguk dan tersenyum tipis. "Gue tahu kali, Ge. Gue tahu lo ke Bandung sama dia. Gue tahu dia datang dan ngapelin lo. Apa lo ada cerita sama gue?"

Lidah Gesna seketika terasa pahit.

"Lo bilang gue berubah. Memangnya lo nggak berubah, Ge? Sejak kapan seorang Gege bohong sama gue?"

"Harusnya gue yang tanya sama lo. Lo kenapa? Apa lo berpikir gue bakal melarang-larang lo sampai lo bohong ke gue?" decak Guntur. "Gue cuma pengin sahabat gue jadi bagus aja, kok. Apa pun keputusan lo, gue bakal dukung kali, Ge. Nggak perlu bohong."

Gesna melirik Guntur dengan mata berkaca-kaca. "Gue nggak bermaksud bohong, gue cuma ...."

"Cuma apa?"

Tenggorokan Gesna tersumbat.

"Gue nggak kasih tahu lo, takut lo berpikir macam-macam sama gue."

"Kalau lo bohong malah bikin gue berpikir macam-macam, Ge."

"Maaf," cicit Gesna sambil menyeka sudut mata sebelum air matanya turun.

Sekolah sudah sepi, tidak ada siapa-siapa lagi. Anak-anak ekskul juga sudah pulang mengingat sebentar lagi magrib.

Guntur berdengkus kecil. "Bisa juga lo sedih. Kirain hati lo terbuat dari alumunium," celanya sambil menarik kepala Gesna ke dada. "Jangan bohong lagi, ya?"

Kepala Gesna mengangguk pelan dan lengannya melingkari pinggang Guntur. "Jangan musuhin gue, Gun."

"Enggak. Makanya jangan bohong."

MATAHARI APIWhere stories live. Discover now