ASA 22

84 22 14
                                    

BAB 22

Now Playing :
William Michael, I met a girl

Asa milik kita..

Ini bukan kisah cinta romantis, melankolis, atau dramatis. Hanya sebuah kisah mempertemukan dua anak manusia yang mempunyai dua pandangan mengenai ASA

▪︎ x ▪︎

LANGIT senja menyambut mereka berdua sejauh mata memandang. Baik Peony maupun Revano hanyut dalam euforia langit yang memerah. Mereka menciptakan dunianya masing-masing, membumbung tinggi tiap-tiap harapan yang baru dan menanggalkan segala kesedihan yang pernha dialami. Kadang, Tuhan mempertemukan kita dengan orng lain bertujuan untuk membuat kita belajar. Mengerti bahwa semesta tak pernah menghadirkan badai tanpa pelangi setelahnya.

Di tempat ini, tiga bulan yang lalu, Peony sedang merebahkan diri di rerumputan sambil menikmati rintik hujan yang membelai wajahnya. Peony masih membayangkan soal sayembara tahunan yang terkesan begitu mustahil. Hingga ia menargetkan harapan baru dalam hidupnya, Peony bertekad memenangkan sayembara dan saat itu pula sepulang dari tempat ini.. semuanya gelap. Pony kecelakaan.

Peony, gadis cantik berjaket abu-abu itu tersenyum mengingat serpihan ingatannya. Jika bukan karena Revano dan Pak Budi yang menyelamatkannya, ia tak mungkin ada di sini. Gadis itu semakin tersenyum lebar. Helai-helai rambutnya tertiup oleh hembusan angin. Namun tatapannya tetap tertuju pada pemandangan indah di depannya sunset yang begitu menganggumkan sejauh mata memandang.

"Lo suka banget ke sini ya?"

Peony menoleh, matanya menyipit lengkap dengan binar-binar kebahagiaan. "Banget! Apalagi bentaran udah malem. Pasti bakal banyak kunang-kunang."

"Bocah banget nih anak ya Tuhan." Revano berdecak malas.

Bukan Revano namanya kalau jawabannya akan berarah romantis. Jadi Peony tidak ambil pusing, "Biarin, lagian Kak Vano udah janji kan? Kalo Kimiaku 80 kita bakal ke sini."

Revano memainkan batuan kecil di depan sepatunya. "Tapi itu nilai asli kan?"

"Iyalah! Kan aku tiap hari di paksa belajar sama Kak Vano." Sungut Peony kesal. Yang benar saja, Peony sudah belajar setiap hari bahkan setiap saat namun Revano masih meragukan kemampuannya meskipun nilai telah dibagikan. Lalu Peony harus apa? Memenangkan olimpiade?

"Katanya lo yang mau ketemu bunda di jogja. Kenapa jadi ngerasa terpaksa pas berusaha?" Titah Revano penuh maksud. Ia ingin membangkitkan semangat gadis itu tanpa rasa terpaksa atau pun merasa bahwa belajar hanyalah kewajiban.

"Ya tapi enggak tiap hari juga, ish."

Mengabaikan ucapan adik kelasnya yang super banyak protes itu, Revano kembali bertanya, "Tertinggi di kelas tadi berapa?"

Peony tampak mengingat-ingat. Ia memutar kembali memorinya tentang pembagian nilai ulangan dan ucapan Bu.Marsha, "Delapan puluh lima, aku tertinggi nomer dua."

"Besok harus nomer satu." Ujar Revano seolah memerintahkan sesuatu yang tak boleh di bantah.

"Siap kapten!"

"Gue mau nanya." Revano kini menyudahi aktivitasnya menendangi batuan kecil di depan sepatunya. "Apa impian lo selain juara sayembara?"

Revano Sadewa? Bertanya soal impian? Peony bahkan harus mengerjap beberapa kali untuk memastikan pendengarannya. Yang Peony tahu selama ini, Revano hidup tanpa cita-cita. Revano tidak pernah menggubris permohonan, harapan, asa atau apa pun yang mengharuskannya memiliki angan masa depan. Kadang Peony tidak paham mengenai jalan pikiran Revano.

ASAWhere stories live. Discover now