49. Missing Something

Mulai dari awal
                                    

"Oh, pacaran?" Ibu itu tertawa sambil mengangguk-angguk seakan paham. Anggukan yang menombak ulu hati Adit. "Ya udah, makasih ya, Dit. Eh, rencana habis lulus kamu mau ke mana?"

Bibir Adit seketika meringis, matanya menatap Bu Muslicha nanar. "Belum tahu, Bu."

"Tentuin dari sekarang, Dit. Yang lain udah berusaha mengejar passing grade kampus tujuan, lho."

Pembicaraan dengan Bu Muslicha barusan semakin memperkeruh pikiran Adit. Di mata Ibu itu saja antara Guntur dan Gesna ada hubungan istimewa. Mengapa selama ini dia berusaha tidak melihatnya? Dan tentang masa depan, astaga, kelulusan tinggal hitungan bulan dan dia tidak memikirkan ini.

Adit kembali berjalan menuju belakang ketika tidak sengaja hampir bertabrakan dengan seseorang di tikungan. Muka orang itu terlihat terkejut. Matanya agak bengkak dan kemerahan di sekitar kelopak. Binar kesukaannya redup.

Adit segera mengembalikan pandangan ke depan. Biarlah. Gesna menangis karena kehilangan orang yang dianggapnya papa. Lagi pula dia bukan siapa-siapa lagi. Tidak ada kapasitas untuk menghibur cewek itu. Hatinya sendiri saja butuh dihibur.

Di lain pihak, Gesna yang kaget hampir bertabrakan dengan Adit menjadi diam. Melirik ke arah hilangnya Adit. Cowok itu seperti sengaja tidak melihat dia, melihat mukanya saja enggan. Seperti dahulu kala mereka menjadi dua orang asing yang malas bertegur sapa di basecamp, saling membuang muka saat tidak sengaja bertatap. 

Adit kembali sesombong Firaun. Padahal Gesna tahu, Adit tidak sombong, tidak juga cool. Dia cowok paling berisik di hidupnya. Resek, berisik, suka mengatur, suka tiba-tiba datang, sering spam chat, bawel. Tak sengaja, bibir Gesna berdecap, lidahnya terasa pahit.

Gesna paham konsekuensi putus dengan Adit. Gesna paham sekali. Tetapi mengapa rasanya semakin hampa? Seperti makin banyak yang hilang dari kesehariannya. Semenjak Papah pergi, semua seperti tanpa nyawa. Piza, nasi, bakso, siomay terasa tawar dan dia tidak nafsu makan. Mamah tidak lagi mengirimi ayam dan mengingatkan makan. Pelangi kerjanya di kamar saja. Guntur sering kali termenung. Gesna lupa kapan terakhir makan tiga kali dalam sehari. Belum lagi, saat ini, tidak ada yang bisa dipaksa-paksanya untuk menemani makan. 

Rumah terasa sunyi sekali, benar-benar benda mati. Semua terasa berbeda. Ada yang lenyap entah ke mana. Padahal semua tetap sama. Gesna mengucek mata. Semalaman dia gagal tidur di kamar Pelangi, sebab yang ada mereka malah membahas kerinduan terhadap Papah dan berakhir dengan menangis berjamaah. Menangisi sesuatu yang tidak mungkin kembali, pergi dengan begitu cepat tanpa sempat bersiap.

Adit pernah bilang, everyone has their own battle. Gesna tidak tahu mengapa bisa teringat kata-kata tersebut. Mungkin dia terkesan. Benar juga, akhirnya dia membuktikan kalau setiap orang memang memiliki medan pertempurannya sendiri. Buktinya, keluarga Guntur yang dia anggap sebagai sesuatu yang sempurna, sekarang retak dengan luka yang menganga karena ditinggal Papah.

Gesna sadar dia bukan penghibur yang baik. Selama seminggu berusaha menemani Pelangi, bukannya menenangkan dia malah sering ikut menangis. Untuk itu, hari ini, Gesna bertekad tidak mau menginap di rumah Guntur dahulu. Semoga Pelangi bisa kuat, meski tanpa kedatangannya. Hari ini, dia akan latihan sekeras mungkin lantas pulang untuk tidur. 

Kepala Gesna tertunduk, kembali berjalan dengan sudut mata yang kembali perih. Toilet menjadi tujuan persinggahannya. 

"Eh, lo tahu nggak kalau Lambe School suspended?" Sebuah suara terdengar ketika Gesna ada di balik bilik. Dia mengusap tangis yang tadi meluber sambil menajamkan pendengaran.

Seseorang lagi seperti memekik. "Serius lo?" Tak lama suasana kembali berisik. "Ih, beneran. Hilang itu akun. Gila sih mereka, udah diingatin sama Kepala Suku juga, masih aja. Sampai disuruh baca DM, dong."

MATAHARI APITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang