Ini Tidak Benar (2)

25.1K 2.1K 27
                                    

Aku merasa sedikit beruntung pernah belajar mengemudi mobil.

Saat masih menjadi istri Romi, aku memang selalu harus pergi kemana-mana sendiri. Romi juga yang memaksaku untuk belajar mengendarai mobil agar tidak merepotkannya ketika akan keluar rumah.

Setelah membenarkan posisi tidur pak Bagas agar lebih nyaman, aku segera mengambil alih kemudi. Entah bagaimanapun caranya, yang penting aku cepat sampai rumah.

Mobil yang dibawa pak Bagas jelas berbeda dengan mobil tua Romi yang biasa ku pakai. Maka dari itu aku memilih mengendarainya pelan-pelan sembari menyesuaikan diri.

Aku sangat menyesal tidak meminta pekerja yang tadi membawa pak Bagas masuk mobil untuk membaringkan tubuh tegap pak Bagas di kursi balakang saja. Kenapa aku malah membuka pintu bagian depan tepat di kursi penumpang samping kemudi? Hanum bodoh!

Bukan apa-apa, tapi sedari tadi pak Bagas bergerak gelisah. Sesekali menggerutu dan bergumam tidak jelas. Mungkin efek alkohol membuat keadaannya seperti ini sekarang.

Parahnya lagi, aku dibuat tidak fokus menyetir saat sesekali mendengar umpatan dari mulut pak Bagas.

Keluar dari pintu tol menuju jalan raya, perasaan bosan dan kesal langsung menyergap. Apalagi melihat kondisi jalanan macet parah. Hmmm, aku baru ingat ini weekend wajar saja kalau jalanan menjadi penuh seperti malam ini.

"Kamu bisa menyetir mobil ternyata." Aku sontak menoleh, mendapati pak Bagas yang menatapku dengan mata merah dan tatapan yang sedikit menakutkan.

"I-iya pak, sudah lama bisa." Jelasku lalu mengedarkan pandangan ke luar kaca mobil, menghindari tatapan pak Bagas yang kian tajam.

"Sejak bercerai dari saya? Diajari sama mantan suami kedua kamu?" Aku tidak berniat menjelaskan apapun.

"Dulu waktu sama saya, kamu nggak mau belajar nyetir. Kemana-mana lebih memilih pakai sepeda kalau enggak motor."

Karna dulu sopir pribadi kamu siap mengantarkan kemanapun, di rumah juga banyak kendaraan selain mobil. Sedangkan saat dengan Romi, aku hanya boleh pergi dengan mobil lamanya. Tidak ada motor atau sepeda di rumah apalagi sopir pribadi. Minta diantar pasti hanya akan menimbulkan masalah baru. Beruntung kalau endingnya hanya dibentak, kadang harus siap-siap  ditampar atau dipukul.

Aku mendadak ketakutan saat sebelah tanganku di cengkeram erat oleh tangan besar pak Bagas.

"P-pak..!" Aku berusaha melepaskan genggamannya sembari menjauhkan diri saat pak Bagas semakin mendekatkan tubuhnya padaku.

Aku bahkan menempel erat pada pintu mobil di sampingku, saat pak Bagas semakin gentar mencondongkan tubuhnya di atasku.

Ya Tuhan, kami masih berada di tengah-tengah jalan dalam kondisi macet total! Aku hanya berharap kaca ini tidak tembus pandang. Sehingga orang-orang di luar sana tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam mobil mewah ini.

"Pak, bapak mau apa? To-tolong menjauh dari tubuh sa-saya." Dia justru menyeringai.

"Saya sejak tadi bicara sama kamu, tapi kamu justru asyik diam sembari melamun! Kalau diajak bicara sama bos itu di perhatikan." Aku mengatur nafas susah payah. Tubuhku mulai bergetar, apalagi bau alkohol dan aroma parfume dari tubuh pak Bagas sedikit mendominasi ruang mobil ini.

"Pak, to-tolong menjauh dari atas saya." Pintaku sekali lagi.

"Kenapa? Kamu takut? Kaya nggak pernah saya perlakukan seperti ini, dulu saat masih satu rumah kita sering melakukannya kan? Kamu nggak kangen masa-masa itu?"

"Jangan takut manis! Bahkan saya masih ingat betul kapan terakhir kita melakukannya. Perlu diingatkan lagi? Baik sini aku ingatkan." Aku menghempaskan tangan pak Bagas yang dengan lancang menyentuh pipiku.

Bukan Salah Karma [Terbit]Where stories live. Discover now