Mimpi

26 3 2
                                    

Kenzi turun dari angkot dengan terburu-buru. Cahaya matahari mulai terasa menyengat di kulit.

"Sial! Gue bener-bener telat." Makinya saat menyusuri trotoar menuju pintu masuk Rumah Sakit Mitra Kesehatan.

Langkah kakinya semakin cepat dan lebar. Sayang, percepatan dan perlebaran langkah kaki tersebut tidak diiringi dengan kewaspadaan yang tinggi. Kenzi terjatuh. Tepat di depan pos satpam, dekat dengan palang pintu pengambilan karcis parkir motor maupun mobil.

Pak Sofyan bergegas keluar dari singgahsananya dan menolong Kenzi untuk berdiri.

"Mbak Kenzi tumben baru berangkat?"

"Makasih, pak. Tadi pagi saya bangun kesiangan. Jadinya telat gini deh. Mari Pak Fyan." Ucap Kenzi yang kembali berjalan cepat menuju lobby rumah sakit.

Sesekali Kenzi menyapa pegawai rumah sakit yang berpapasan dengannya. Dua tahun terasa begitu cepat berlalu bagi Kenzi. Seingatnya, baru kemarin dia mengikuti ospek di kampus. Tapi sekarang, dia sudah bekerja selama dua tahun di rumah sakit swasta daerah Mulyorejo, Surabaya.

Kenzi tiba di departemen tempatnya bekerja tepat pukul 8 lebih 15 menit. 1jam 15 menit dia terlambat. Melihat antrian sebelum masuk ke ruangan, membuat Kenzi sedikit yakin bahwa posisinya saat ini masih cukup aman. Vera dan senior-seniornya yang lain tidak akan memarahinya, separah memarahi Agus waktu itu, yang terlambat lebih dari 3 jam.

"Selamat pagi mbak Ve." Sapa Kenzi pada Vera yang tengah duduk di depan meja pendaftaran.

"Pagi Ken. Kamu telat lagi ya?" Vera mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Kenzi.

"Iya mbak. Aku telat. Maaf ya."

"Its ok. Kamu kan tau sendiri. Kalo hari selasa, pasien kita nggak terlalu banyak."

"Mbak Vera udah sarapan?" Kenzi duduk di hadapan Vera.

"Udah Ken. Omong-omong, kamu udah denger kabar terbaru nggak?" Vera memajukan tubuhnya seolah apa yang akan dibicarakan adalah hal penting yang tak boleh didengar orang lain.

"Kabar apa mbak?"

Vera mengambil camilan di bawah meja dan menyodorkannya pada Kenzi. "Mbak denger dari Pak Bambang, katanya minggu ini Kepala Departemen yang baru udah mulai kerja. Kamu tau kan, kalo Pak Bambang udah pensiun?"

Pak Bambang adalah Kepala Departemen Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit tempat Kenzi bekerja. Setahunya, beliau memang sudah cukup sepuh dan akan pensiun dalam waktu dekat. Tapi Kenzi sama sekali tidak tahu kalau waktu dekat itu bulan ini.

"Iya aku tahu. Memangnya kenapa mbak? Bukannya wajar ya, kalo ada yang bakal gantiin posisi Pak Bambang?"

"Nah, yang bikin kita semua heboh adalah pengganti Pak Bambang itu bukan dari Rumah Sakit ini. Katanya sih, dari rumah sakit pusat." Vera kembali memajukan tubuhnya dan memberi isyarat pada Kenzi untuk mendekat. Kenzi pun menuruti permintaan Vera dan mendengar Vera berkata, "anaknya direktur!"

"Ooooohhh..." Kenzi ber-oh ria.

"Kamu paham kan maksud mbak?" Tanya Vera pada Kenzi. Kenzi menggeleng sebagai jawaban.

"Astaga Kenzi. Aku nggak tahu ya, kenapa kamu bisa lolos tes di rumah sakit ini dengan otak kaya gitu!" Vera menegakkan tubuhnya dan geleng-geleng melihat Kenzi.

"Wah jangan sembarangan mbak kalo ngomong. Nanti dikira orang-orang, aku kerja di sini via jalur ghoib." Jawaban Kenzi berhasil membuat Vera terbahak.

"Kalo yang jadi kepala departemen kita bener-bener anaknya direktur rumah sakit, kemungkinan besar dia pasti masih muda Ken. Maksimal 30 tahunan lah." Ucap Vera sembari menggerak-gerakkan tangannya di udara seolah sedang membuat hitung-hitungan.

"Kalo ini sih analisis ngaco Mbak Ve. Nggak berdasar sama sekali."

"Yeee... Kamu dibilangin orang tua nggak percaya. Berani taruhan nggak? Kalo kadep baru kita tua, aku traktir kamu makan takoyaki di belakang rumah sakit. Tapi, kalo yang dateng masih muda, cukup beliin aku sepatu baru di Delta." Vera tertawa sendiri mendengar ucapannya.

"Itu sih akal-akalan mbak aja biar punya sepatu baru. Aku nggak setuju pokoknya." Kenzi bangkit dari duduknya setelah melihat Eni masuk membawa beberapa berkas pasien, dan disusun berdasarkan antrian. Vera mengambil urutan pertama dan memanggil rekan-rekannya yang lain.

Kenzi mengambil berkas urutan kedua. Membaca sekilas hasil pemeriksaan dokter dan diagnosis yang diberikan. Setelah itu dia menuju ke microphone yang terletak di sudut ruangan untuk memanggil pasiennya.

***

"Ken, kamu nggak istirahat?" Agus bertanya pada Kenzi yang masih duduk di meja pendaftaran.

Kenzi menjawab Agus tanpa mengangkat kepalanya, "nanggung Gus. Sebentar lagi beres nulisnya."

Agus duduk di depan Kenzi dan mengamati wajah perempuan itu lekat-lekat. Kenzi tampak semakin cantik di mata Agus ketika sedang memasang wajah serius seperti ini.

"Ada berapa pasien lagi nanti?" Tanya Agus memecah keheningan di antara mereka berdua.

"Tinggal sepuluh." Jawab Kenzi.

"Alhamdulillah deh kalo tinggal segitu." Jawaban Agus berhasil membuat Kenzi mengangkat wajah dan memasang ekspresi geli. "Kenapa Gus? Udah mulai bosen jadi fisioterapis?"

"Eh, bukan gitu maksud aku. Sekarang bayangin deh Ken, tiap hari kita kedatengan pasien 70-80an. Sedangkan kita semua jumlahnya cuman sepuluh. Otomatis masing-masing dari kita nanganin tujuh sampai delapan pasien. Belum lagi pas hari senin sama jumat. Pasien yang dateng bisa sampe 100 orang lebih. Lama-lama kita bisa kena Low Back Pain juga nggak sih?" Agus menjelaskan dengan rinci tentang keluhannya.

"Udah resiko Gus. Biar nggak kerasa capeknya, kita harus ikhlas." Ucap Kenzi sembari menutup buku catatan pasien hari ini. "Kamu mau makan juga kan? Ke kantin deket lapten yuk. Aku lagi kangen sotonya Bu Darmi."

Agus mengangguk mendengar ucapan Kenzi. Mereka pun berjalan beriringan menuju kantin yang berjarak sekitar 100 meter dari departemen. Agus dan Kenzi terbiasa istirahat bersama. Mereka berdua saling mengenal sejak mengikuti tes pertama kali. Di antara fisioterapis yang lain, hanya mereka berdua yang bisa dibilang junior.

Semua fisioterapis sudah kembali ke ruang terapi. Lima menit lagi, waktu istirahat mereka habis. Beberapa dari mereka sudah membawa berkas pasien dan menuju ke microphone untuk memanggil pasien masing-masing.

"Ken, kamu dapet pasien apa? Latihan apa modalitas?" Vera bertanya pada Kenzi yang tengah sibuk membaca berkas pasiennya. "Low back pain mbak, cuma butuh MWD sih. Kenapa?"

"Kamu mau tukeran sama aku nggak? Aku dapet ankle sprain nih. Males banget disuruh ngelatih."

"Iya mbak." Kenzi menyetujui dan menyerahkan berkasnya pada Vera. "Makasih ya Ken." Kenzi mengangguk.

Setelah memanggil pasiennya, Kenzi menunggu di dekat pintu masuk sembari membaca kembali tentang kondisi pasien. Satu persatu pasien masuk dan menyebutkan nama. Seorang pasien wanita, diikuti dengan laki-laki yang mendorong kursi rodanya, masuk paling akhir. "Meyliza Septiana Putri." Ucap wanita itu.

Merasa bahwa itu pasien yang akan ditangani, Kenzi pun mengangkat kepalanya. "Mari bu, ikut..." Kalimatnya menggantung saat melihat pasien yang ada di hadapannya.

"Kenzi..."

Love, Hate, Love U MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang