26. Mengaku Kalah

Start from the beginning
                                    

"Gue penginnya besok."

Naraya berdecak. "Kayak emak hamil yang lagi ngidam lo!"

"Bisa, ya?" pintanya memaksa.

"Nggak janji. Kayaknya nggak bisa, tapi entar gue kabarin. Ada lagi, Jessica? Gue ngantuk."

Giliran Gesna yang berdecak keras. Badannya gatal-gatal kalau dipanggil Jessica. "Ya, udah. Tidur sono. Bye."

Sebelum meletakkan ponsel, Gesna kembali memeriksa pesannya ke Guntur. Masih tidak juga dibaca. Apa dia perlu kirimi Guntur paket agar pesannya dibaca?

Gesna menaruh kepala yang terasa penuh di atas bantal. Kenapa sih semua ini? Dia benar-benar tidak mengerti. Kenapa dengan semua laki-laki? Tingkahnya aneh semua.

Mungkin dia harus bertanya kepada Guntur. Saat cowok itu sedang lengang dan tidak sibuk dengan OSIS-nya. Oh, iya. Sehabis upacara besok kayaknya bisa tuh. Ada sekitar lima menit untuk tanya Guntur barang sebentar.

Sekali dalam seumur hidup, Gesna ingin sekali Minggu cepat berganti Senin. Dia berniat akan bangun pagi juga upacara. Tidak pernah-pernah niat luhur seperti itu terlintas di benak Gesna sebelumnya.

***

Sehabis upacara, Naraya dan Adrian membayar prank permen mereka di lapangan. Tentu mereka berdua menjadi perhatian, termasuk Gesna yang ikut tertawa-tawa. Namun, seperti biasa, Naraya tidak akan peduli akan hal itu dan bukan Adrian namanya jika malu dengan hal remeh barusan.

Mata Gesna melirik kanan kiri mencari Guntur. Sampai tadi pagi, pesannya juga tidak dibaca. Dia sudah bertanya kepada Renard di mana Guntur, tapi Renard yang sekelas juga mengaku tidak melihat Guntur.

Gesna menghela napas dalam. Kenapa sih Guntur? Apa cowok itu sudah menjelma sebagai monster petir yang bisa datang dan hilang kapan pun dia mau?

Dia melangkah ke kelas tanpa berminat mampir ke kantin. Kalau biasanya mendatangi kantin sehabis upacara adalah kewajiban, kali ini Gesna hanya ingin duduk dan menempelkan kepalanya ke meja.

Dari pintu kelas, dia melihat Naraya masuk. Cewek itu menuju mejanya yang di samping Gesna dan mengambil tas dari laci. Gesna menoleh. "Lo mau dispen lagi?"

Naraya mengangguk. Padahal cewek itu sudah ketinggalan banyak pelajaran karena Pelatnas-nya. "Iya, Ge. Gue diajak Pak Dodik buat ketemu ikatan alumni. Nontonnya cancel ya. Entar kita atur ulang lagi waktu Aci balik umrah, oke?"

Gesna hanya bisa mengangguk lemah, menelan kecewa. Keinginan menanyakan Guntur juga dipupuskan. "Nggak apa-apa," tukasnya.

Dipandanginya Naraya yang berjalan pergi. Dia ingin bercerita dan membagi gundah, tapi Naraya sibuk, Asri sedang umrah. Guntur nggak perlu ditanya, sudah hilang tanpa jejak.

Semua terasa kosong sekali, dan Gesna merindukan Guntur. Rindu bercerita dan bercanda tanpa faedah, rindu main basket bersama atau sekadar duduk sembari saling mengejek apa saja.

Sepanjang pelajaran dilaluinya tanpa fokus. Semua penjelasan guru pun hanya dianggap lalu, Gesna hanya diam dan memenuhi buku sketsa dengan coretan asal-asalan agar suntuk hilang.

Ponselnya senyap sekali. Tidak ada pesan apa pun. Kekosongan itu semakin nyata. Gesna mengembus napas pilu. Tidak ada yang lebih sedih, ketika menyadari tidak memiliki siapa-siapa untuk berbagi dalam hidup.

Saat jam istirahat tiba, Gesna memilih tetap di kelas. Kalau Naraya belum datang, berarti Guntur juga belum kembali. Dia hanya menunggu Guntur, saat ini. Sembari menunggu yang tidak pasti, dia membuka ponsel, berseluncur di Instagram, melihat-lihat foto yang berseliweran di lini waktu.

MATAHARI APIWhere stories live. Discover now