21. Titik Awal

En başından başla
                                    

"Maaf kalau saya lama. Saya mutar-mutar cari ruangannya," ujar Guntur merasa bersalah. "Ling-ling gimana, Om? Dia sakit apa?"

Pria itu mengajak Guntur duduk di bangku panjang yang ada di taman. Cukup lama pria itu hanya diam dan Guntur semakin tenggelam dengan perasaan bersalah.

Aduh, kenapa dia bisa-bisanya ajak Joceline hujan-hujanan, sih? Cewek itu kan bukan Gesna yang mau hujan geledek petir sekalipun tetap akan sehat-sehat saja. Dulu malah mereka berdua sering main basket sambil mandi hujan. Besoknya? Ya, sehat-sehat saja. Kata Mamah, asalkan bukan hujan pertama dari musim kemarau dan hujannya deras, mandi hujan tidak akan membuat sakit.

"Jadi begini," ujar papa Joceline membuka suara. Pria itu menatap taman dengan pandangan tidak terbaca dan muka berduka. "Sakitnya Ling-ling bukan salah kamu. Om panggil kamu karena mau cerita."

Guntur menghela napas lega. Syukurlah kalau begitu. Mamah bisa menangis kalau tahu dia membuat sakit anak orang, dan Papah akan menggantungnya.

"Sedari kecil, Ling-ling memiliki kelainan jantung bawaan. Denyut jantungnya tidak bisa diprediksi, terkadang lebih cepat dari biasa dan terkadang di bawah normal. Itu mengapa dia sangat saya jaga."

Papa Joceline menarik napas dalam, seakan berat sekali untuk menceritakan hal tersebut kepada Guntur.

"Beberapa bulan yang lalu, Ling-ling bersikeras ingin mengikuti pemilihan OSIS. Saya nggak kasih izin dia ikut pelantikan-pelantikan itu tapi dia memaksa. Dia berjanji akan selalu mengabari saya."

Guntur mengangguk. Seluruh calon pengurus OSIS memang wajib mengikuti Diklat gabungan yang dilaksanakan selama tiga hari dua malam di bawah kaki gunung. Namun, dia tidak tahu kalau Joceline tidak diizinkan dan memaksa ikut.

"Dari awal, saya sudah merasa aneh. Ada apa Ling-ling mau ikut OSIS? Tapi setelah tadi saya menemukan buku ini, saya jadi tahu alasannya."

Pria itu mengangkat sebuah buku berwarna kuning. Warna mencolok itu sering ada di setiap perlengkapan Joceline. Sepertinya kuning adalah warna kesukaan Joceline.

"Anak saya suka sama kamu."

Guntur terhenyak. Bukan dia nggak pernah mendengar pengakuan suka dari cewek-cewek, tapi ini beda. Yang mengatakan malah orang tuanya. Badan Guntur sudah sebeku es.

"Saya nggak minta kamu harus melakukan hal yang sama. Saya tahu, perasaan nggak bisa dipaksa. Saya cuma minta kemurah-hatian kamu untuk mau berteman dengan dia. Di luar maksud terselubungnya dalam berteman sama kamu."

Pria itu memberikan buku tersebut ke Guntur lantas kembali ke kamar Joceline. Di taman, ditemani gemericik air yang jatuh dari pancuran kecil di depannya, Guntur mulai membaca.

Tulisan Joceline kecil-kecil dan rapi. Setiap hari cewek itu melapor ke buku ini bagaimana kesehariannya. Termasuk menceritakan bagaimana jantungnya terasa sesak ketika tiba-tiba digenggam dan ditarik Guntur meninggalkan sekre OSIS. Ya, saat Naraya dan Renard berselisih paham.

Guntur menekur. Dia pikir Joceline pucat karena takut dengan Naraya. Dia tidak pernah menyangka kalau Joceline seperti itu karena sikapnya.

Dari buku ini juga, Guntur tahu kalau Joceline sudah tidak memiliki mama. Mamanya meninggal karena sakit jantung. Baik Joceline dan mamanya memiliki penyakit yang sama.

Di halaman terakhir, debar dada Guntur makin tidak terkendali. Joceline menulis kalau dia menjadi salah satu alasan cewek itu bertahan hidup.

Guntur menutup buku dengan perasaan berisik. Dia kemudian masuk ke ruang inap menggantikan  papa Joceline yang akan makan di kantin. Dipandanginya cewek yang terbaring pucat dan lemas.

MATAHARI APIHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin