2. kutukan

419 270 137
                                    

-apa yang harus kulakukan saat kutukan datang padaku-

Liburan yang penuh kutukan
Hari liburnya setelah kelulusan bagaikan sebuah kutukan, Mendengar ocehan ibunya terus menerus membuat Maya kesal.

Ibunya terus memangil dengan suara lantang tapi tidak dihiraukan oleh Maya, dia mencoba menutupi diri dengan selimut dan bantal.

"May bangun nak udah jam sembilan, jangan mentang mentang liburan jadi mau males malesan gitu" teriak Ibunya dari luar kamar, berharap putri kesayangannya itu bangun dari tidurnya.

"bentar lagi buuu" jawabnya lirih

"bangun atau Ibu siram pake air" ibunya sudah bersiap membawa ember kekamarnya. Maya tahu betul Ibunya tak pernah main-main soal membangunkannya.

"arghhhhh sial, iyaaaaa" jawabnya sembari membanting-bantingkan dirinya di atas kasur.

Dengan kesal dia beranjak dari tempat tidurnya, matanya masih setengah terbuka dia berjalan dengan gontai ke arah kamar mandi, mencoba untuk menyadarkan diri dengan membasuh wajahnya.

"astaga dingin, Ibuuu kenapa air panasnya gak nyala" tanya Maya sembari berteriak, suhu air berhasil menyadarkannya dari rasa kantuk yang menyelimutinya.

"listriknya mati, lagian ini udah jam sembilan air nya gak terlalu dingin" jelas Ibunya.

"aihhh, siaall" satu lagi umpatan kecil berhasil keluar dari mulutnya.

lagian ini hari libur, manusia mana yang bangun sepagi ini di hari liburnya, Maya terus menerus menggerutu dia sangat kesal pasalnya hari liburan adalah waktu bersantai tapi dia malah harus mendengar ocehan Ibunya sedari pagi.

Dengan pakaian tidurnya Maya berjalan ke arah meja makan, di meja makan kakak dan kedua orang tuanya sudah berkumpul, semua mata tertuju padanya, what, apa-apaan tatapan itu?.

Jatungnya melompat saat kedua matanya bertemu dengan mata sang Ayah, itu bukan tatapan yang biasa ia dapati saat dirinya bangun, masa gara-gara kesiangan sih. Suasananya menjadi cukup menegangkan untuk saling menyapa.

"May cepet makannya nanti Ayah mau ngomong sama kamu" dengan nada dan mimik yang serius ucapan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Ayahnya.

What the hell?, ngomongin apaan sekolah gue, fine-fine aja tuh, gue kan berhasil masuk kesekolah yang Ayah mau. Tatapan Ayahnya itu sangat tidak biasa, lebih dari sekedar tatapan serius.

"Yah jangan bicara kek gitu si Maya jadi tegang hahaha" kekeh Gibran

Kakaknya Gibran mencoba mencairkan suasana di antara adik dan ayahnya.

"diem" Sorot mata Maya mengarah pada Gibran seakan menunjukan amarah. Gibran langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Maya bukanlah sosok yang dingin, jika orang lain melihatnya sekilas pasti mengira Maya orang yang dingin, aslinya sama sekali jauh dari kata dingin.

Tiba-tiba dari arah pintu utama terdengar suara ketukan, seorang lelaki seusia Maya berdiri di depan pintu membawa sebuah makanan ditanganya.

"tante Alan bawa pie dari mamah nihh" dengan girangnya Alan menyelonong masuk.

"bu Fika baru bikin resep baru Lan?" tanya Ibu Maya

"iya tan ini disuruh di bagi bagi"

"Alan udah sarapan belum, makan disini aja kalau belum"

"udah sih tan, tapi pengen makan lagi hahaha" jawabnya sumringah

"jangan dikasih bu nanti dia kebiasaan minta-minta" timpal Maya. Maya merupakan sosok yang bisa menempatkan diri pada setiap situasinya.

"biarin biar Alan jadi anak ibu aja"

"bwuahhaha, ibu lu aja mau gue jadi anaknya" tawanya pecah

"bu, dia itu oon masa ibu mau punya anak kek dia"

"tapi kan gue ganteng yah gak bang?"

"masih gantengan juga gue" jawab Gibaran malas

Kedatangan Alan kerumahnya membuat suasana yang sebelumnya tegang menjadi lebih santai, thanks lu bener temen gue dari kecil lan, lu datang di waktu yang tepat banget. Maya mengucapkan terima kasih dalam hatinya setidaknya untuk kabur sesaat dari pembicaran dengan ayahnya.

"Lan hari ini lu ada acara gak?" tanya Maya mengalihkan pembicaraan Alan dengan sang Ibu.

"yah maen ps dirumah si Dion palingan" jawab Alan sembari mengunyah makannannya.

"gue ikut yah"

"abang juga ikut ya"

"biasanya juga lu berdua masuk rumah dion gak ngomong dulu " jawab Alan dengan malas.

"minggu depan anaknya om Barak bakalan tinggal disini"

serempak semua orang menoleh ke arah suara tersebut, ayah barusan ngomong apa, gue gak salah denger?.

Maksudnya si Tika kan?. Siapa lagi kalau bukan Tika amalia, Putri tunggal keluarga Barak pratama sekaligus sepupunya.

"apa?? si Tika Yah" balas Gibran terkejut

"big no, Maya gak mau, ayah lupa gimana aku sama Tika dulu?" bentak Maya dengan suara tinggi.

Tubuh Maya seketika mematung, matanya membulat, wajahnya terkejut mendengar ucapan yang dilontarkan sang Ayahnya. Seketika rentetan kenangan buruk bersama Tika memenuhi isi kepalanya.

"tapi Ayah sama Ibu udah setuju, soalnya om barak pingin anaknya sekolah di tempat yang bagus sama kaya kamu" jawab ayahnya dengan nada datar.

"Gibran juga gak setuju yah" gubris Gibran.

"May, kalo kamu masih inget kejadian dulu jangan pernah salahin diri kamu ataupun Tika semuanya murni kecelakaan" jelas sang Ayah mencoba membuka hati Maya.

apa? Kecelakaan? siapa? Pada ngomongin apaan sih, Alan satu satunya orang yang tidak mengerti dengan pembicaraan keluarga itu, dia ternganga-nganga sorot matanya mengikuti orang yang berbicara.

"terserah pokonya Maya gak mau, Maya pergi" Maya langsung berdiri dan membalikan badannya, berlari keluat rumah.

"Alan juga pergi dulu tan" lekas Alan mengikuti Maya dari belakang.

"abang ikut dek tunggu"

Filling-nya benar sesuatu yang buruk datang, sebuah kutukan besar datang kerumahnya, pasalnya Maya memiliki pengalaman buruk bersama Tika.

Maya tidak mau pengalaman buruknya terulang kembali, dia hanya berharap keputusan Ayahnya berubah.

Selama di rumah Dion Maya dan Gibran sama-sama memasang wajah cemberut, mereka kembali memikirkan ucapan Ayahnya tadi pagi. Berharap bahwa mereka tidak mendengarnya.

"bang Gibran sama si Maya kenapa Lan" Tanya Dion

"lu tau Tika anaknya om Barak gak?" tanya Alan kebingungan.

"yang tinggal di Bangka itu bukan, kalo gak salah waktu kelas satu SMP pernah ketemu waktu dia kesini" jelas Dion.

"oh Tika yang itu toh, katanya dia bakalan tinggal dirumah Maya Yon" sekarang dia tahu arah pembicaraan yang tadi didengarnya. Alan pernah sekali bertemu dengan Tika, tapi untuk kejadian di masa lalu Maya Alan sama sekali tidak tahu soal itu.

"brisik lu siapa tau aja gak jadi kan" tegas Maya.

"apa abang ngekos aja di deket tempat kuliah yah" ucap Gibran menggoda adiknya.

"bang lu mau tinggalin gue sendiri hah"

"yang sabar yah, hahahaha" goda Alan sembari tertawa lepas

"brisik, liat itu harusnya lu hajar napa diem aja Lan jadi kalah kan" tunjuk Maya ke layar televisi.

Dia berusaha melupakan apa yang Ayahnya tadi bicarakan, melampiaskan emosinya. Jika apa yang dikatakan Ayahnya benar terjadi, dia sama sekali tidak bisa membayangkannya. Tika, mau apalagi sih?

-aku harap yang dulu terjadi hanyalah bagian dari mimpi burukku-

between usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang