Bahkan api di mesin kremasi membara-bara. Sabella dapat merasakan hawa panasnya. Sabella mengelilingi gubuk tersebut dengan kaki yang lemas.

Yang ada di pikirannya hanya ; kenapa Decan menyimpan benda ini ? apa yang di lakukan Decan dengan benda-benda ini ?

Sabella terdiam sesaat, jika ia tidak menemukan Decan disini, kemana lagi Decan ? fikirannya penuh, ia tak bisa memikirkan semuanya satu-satu, semua ini terlalu membingungkan. Semua ini terlalu memusingkan. Sabella memegang kepalanya ketika ia merasakan pening luar biasa.

Sabella menutup matanya, air matanya spontan mengalir di pipinya.

Sabella hampir saja hendak duduk di meja pingpong sampai akhirnya ia merasa lengannya di pegang oleh seseorang. Sabella sontak berbalik, ia yakin itu Decan. Tapi sayangnya, yang ia temui bukan Decan, melainkan petugas polisi.

Petugas polisi itu mencoba membopong tubuh Sabella, namun Sabella menolak. Di belakang petugas polisi yang memegangnya, ada banyak petugas polisi lain, di antaranya menodongkan senjata.

"mbak ? mbak gak apa-apa ?" sabella mengangguk. Laki-laki itu berusaha menarik Sabella untuk keluar dari gubuk itu.

Sabella kebingungan, ia tak tau apa yang harus di ikutinya, hatinya yang ia tetap disini atau raganya yang sudah lelah ingin berada di pelukan Decan. Keduanya berkonteks sama, sama-sama ingin bersama Decan. Tapi Decan tidak ada disini, ia juga tidak akan ada di luar. Ia yakin itu saat pertama kali melihat polisi di luar.

Sabella menarik nafasnya, ia mulai melangkahkan kakinya. Namun langkahnya terhenti karna sebuah dentuman berasal dari belakangnya. Sontak ia mendengar suara polisi mengeluarkan pistolnya.

Sabella berbalik, ia langsung menjerit. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Dan ia tak mau percaya. Ia tak mau berfikiran bahwa sebuah tangan yang terlihat di mesin kremasi yang membara tadi adalah milik Decan.

Sabella menggeleng, air matanya sudah mengalir dengan deras. Tenggorokannya sangat perih. Tubuhnya lemas. Ia tak bisa berdiri lagi, ia membiarkan tubuhnya ambruk di lantai.

Polisi tadi mencoba menariknya, tapi Sabella menahan tubuhnya untuk diam. Sabella menggeleng terus menerus, ia tak ingin percaya bahwa itu Decan tapi kenapa rasanya ia sangat marah, ia marah pada Decan tak tau kenapa.

Sampai akhirnya kedua tangan tadi kembali menghilang. Sabella berteriak, ia merangkak mencoba meraih mesin kremasi tapi petugas polisi dengan cepat menariknya. Sabella berontak, ia berteriak, meraung seperti orang gila.

Yang ia rasakan saat ini hanyalah rasa sakit luar biasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kepalanya pening luar biasa, tenggorokannya tercekat dan perih, dadanya sesak.

Jika sebelumnya ia diminta untuk memilih, ia lebih memilih mati daripada merasakan ini. Ini sungguh menyiksa raganya.

Ia tak ingin berfikir itu Decan tapi lebih dari separuh raganya menangis seolah-olah mereka tau bahwa ada seonggok tubuh Decan di mesin kremasi yang membara-bara tadi.

"DECAN !!!" jerit Sabella saat tubuhnya digendong paksa oleh seorang polisi.

Ia tak bisa menahannya lagi, ini terlalu menyakitkan untuknya.

Sabella meronta-ronta sampai akhirnya kepalanya semakin sakit dan pandangannya mengabur lalu menghitam.

Sabella mengerjapkan matanya, samar-samar ia dapat melihat Decan. Wajahnya terlihat panik, ia berada di samping Sabella. "decan.." gumam Sabella. Decan menoleh, ia lalu tersenyum tipis. Ia menyentuh tangan Sabella, tapi sentuhan itu terasa tidak nyata.

Sabella ingat sesuatu kala itu, ia ingat ketika ia sekarat setelah Adam menyiksanya saat ia hamil hingga ia kehilangan bayinya. Kala itu saat perjalanan menuju rumah sakit, ia melihat Decan berada di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Ia merasa hangat, ia merasa aman.

Dan itu terulang lagi sekarang.

Ia juga ingat adegan Arturo tidak sengaja tertembak di series Lacasa de Papel. Tokyo bilang seseorang yang sudah di ujung nyawanya, seseorang yang hampir meninggal cenderung melihat kejadian-kejadian indah dan menyenangkan yang pernah ia lewati.

Tokyo benar, saat Sabella sudah tidak tahan dengan deritanya saat ini ia melihat kejadian indahnya bersama Decan. Walau dapat dihitung, tapi ia sangat bahagia sekarang, apalagi melihat Decan di sebelahnya, memegang tangannya.

Walaupun itu hanya fana.

***


hehe akhirnya ya, selesai juga. jangan marah dulu, abis ini ada satu part lagi, judulnya Epilogue. di part itu kalian bakalan tau sesuatu, gamau spoiler ah. Kalau endingnya gini, greget-greget mantap gitu gak si HAHAHAHAHAHAHAH.


love,

Depone.

The Last Psycho's SlaveNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ