29. The Finale.

4.2K 206 8
                                    

Sabella menyipitkan matanya kala sinar matahari menerobos masuk lewat celah gorden. Ia menggeliat, menyibakkan selimut, lalu memutarkan tubuhnya untuk melihat Decan. Ia spontan duduk dari posisi tidurnya ketika tidak menemukan Decan berada di tempat tidur. Jantungnya berdegup kencang, ia tak mau jauh lagi dari Decan.

Lantas, Sabella turun dari ranjang. Ia berjalan kearah kamar mandi, Decan juga tidak ada disana. Ia menarik bathrobe yang menggantung di sisi kamar mandi untuk menutupi tubuh polosnya. Ia dengan cepat keluar dari kamar.

Keadaan rumah tak ada bedanya dengan yang ia lihat semalam sebelum ia bercinta dengan Decan. Tidak ada tanda-tanda keributan ataupun sesuatu yang mencelakakan Decan. Namun, ia khawatir karna belum melihat Decan dengan keadaan sempurna di hadapannya.

Sabella menuju ruang tamu, pintu depan masih terkunci rapat dari dalam. Ia menghembuskan nafas frustasi, ia takut kehilangan Decan lagi.

"Decan ?!"

Tak ada jawaban. Sabella membuka semua kamar yang ada dirumah, berputar-putar di dapur, kembali ke kamar, melihat sekeliling rumah. Decan tak terlihat sama sekali. Sabella putus asa, air matanya sudah mengalir di pipinya, ia mendudukkan diri di kursi halaman belakang.

Dadanya sakit, tenggorokannya perih, kepalanya pening. Suara isakan tangisnya semakin jelas. Samar-samar ia mendengar suara serine, ia mengadahkan kepalanya, kenapa harus sekarang. Ia harus menemukan Decan. Ia ingin bersama Decan, ia rela dipenjara bersama Decan hanya untuk bersama selama sisa hidupnya.

Ia mencintai Decan. Tidak ada keraguan tentang itu. Tidak ada alasan untuk itu. Ia hanya mencintai Decan. Sangat-sangat mencintai Decan.

Sabella berdiri, hendak masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar dentuman keras dari dalam gubuk yang berjarak 20 kaki dari tempat ia berdiri. Jantungnya kembali berpacu cepat, ia belum memeriksa disana, tapi tidak mungkin kan Decan disana padahal ia sudah meneriaki namanya, tidak mungkin kan ia tidak mendengar Sabella ?

Sabella mengusap air matanya, ia menelan sallivanya dengan payah, tangannya bergetar hebat. Di samping itu, suara serine semakin dekat. Sabella gelisah, perasaan takut membabi buta dalam dirinya.

Telapak kaki telanjangnya dengan pelan menapakkan kaki di hamparan rumput hijau menuju gubuk bercat putih yang tak pernah ia masuki sebelumnya.

Sisi dirinya ingin menemukan Decan disana sambil tersenyum dan mengatakan ia mencari hamer untuk memperbaiki sesuatu di dalam rumah, tapi sisi lain memeluknya dengan perasaan takut dan gelisah yang sudah menjalar di seluruh pembuluh darahnya.

Sabella kembali meneguk sallivanya, tangannya mulai dingin, buliran keringat dingin sudah memenuhi pelipisnya.

Sabella memberhentikan langkahnya ketika jaraknya dengan pintu gubuk tinggal 3 kaki. Ia menutup matanya, menarik nafas dalam berkali-kali hingga akhirnya ia mendengar suara dobrakan yang sangat keras dari arah depan rumah. Suara pecahan kaca juga terdengar, jantung Sabella seakan berhenti berdetak. Ia diambang neraka sekarang.

Tanpa fikir panjang, Sabella melangkahkan kakinya dan membuka paksa pintu gubuk di depannya.

Sabella membelakkannya matanya, ia menutup bibirnya dengan kedua telapak tangannya,

Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Mesin kremasi lengkap dengan mesin penghancur tulang, peti-peti es, meja pingpong dengan noda darah yang pekat. Kumpulan garis kuning polisi yang terbakar di tengah ruangan.

Air matanya mengalir, apa yang terjadi sebenarnya ? pikirnya. Sabella melangkahkan kakinya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Kenapa semua benda mengerikan ini berada di rumah Decan. Sabella bingung, ia tak mengerti, ia tak bisa berfikir. Untuk apa semua ini sebenarnya ?

The Last Psycho's SlaveWhere stories live. Discover now