16

2.6K 294 202
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Mavin berhasil menarik perhatian seisi Gramed. Mbak-mbak kasir yang awalnya abai menunda pekerjaannya menyeken buku, memancing perhatian antrean pendek itu. Mas-mas botak yang awalnya sibuk membaca sinopsis novel Danur menatap kami penasaran. Nggak lekang sekuriti yang awalnya sibuk ngobrol bareng salah satu karyawan lantas mendekati kami. Mengawasi.

"Yo, udah. Nggak enak diliatin orang. Yuk." aku merasa sela jariku diisi sesuatu. Genggaman halus Rona menarikku lembut. Aku bahkan sudah sadar dari tadi kalo kami jadi tontonan banyak orang.

"Jadi kamu kenal cowok itu?" Kami berhenti di stand ice cream. Hanya karena tempat ini paling lengang dari yang lain. Aku nggak mungkin cerita soal Mavin, dong? Setelah keluar Gramedia aku udah komit nggak mau bahas apa-apa lagi. Aku kapok ketemu Mavin di tempat umum. Demi apapun. Udah cukup terakhir ini aja!

"Sebatas 'tahu'." aku nggak mau Rona bahas lebih dalam. "Maaf, Ron, tapi aku nggak mau bahas itu lagi."

"Sori. Bukan gitu maksudku." Rona terkejut. "Pulang naik apa? Sekalian balik?"

Aku nggak mau banyak mikir. "Yaudah."

Lagi pula, entah kesambet apa aku bisa bicara seperti itu di depan Mavin. Aku nggak sungguh-sungguh dengan ucapanku. Niatku hanya ingin bikin Mavin ciut. Aku nggak beneran punya rencana untuk membuat Mavin jauh dari Tampan. Aku hanya menggertak. Dan aku rasa itu cukup berhasil. Meskipun pada akhirnya aku sedikit menyesalinya karena omonganku terdengar setinggi langit.

Aku nggak jago jahatin orang.

Masalahnya aku nggak bisa terus diam. Mavin nggak bisa terus berada di antara aku dan Tampan. Jalan satu-satunya adalah melawan Mavin. Itu udah cukup membuktikan kalau aku nggak akan menyerahkan Tampan begitu saja.

Seenggaknya selama yang Mavin tau, aku dan Tampan masih pacaran.

"Ndak dimakan ikannya, le?" ibu memecahkan keheningan di atas meja makan. Hari ini ibu masak lele terbang (lele tepung yang di goreng, di potong kedua sisi dagingnya sampai perut membentuk sayap), sayur asem, rica-rica bebek, lalapan, dan sambal, menyambutku untuk duduk manis di meja makan (ada satu menu spesial, tapi itu buat bapak nanti pulang kerja, tumis toge).

"Sering-sering ya, Bu, masakin Teo lele."

"Ibu beli karena kebetulan lagi murah. Ikannya juga lagi gede-gede. Sekilo sudah cukup untuk masak sampe besok." aku pikir mulut ibu udah penuh. Ternyata lalapan timun dicoel sambal masih muat masuk ke mulutnya. "Pakde Har juga ngirim Ikan Nila tadi siang. Enaknya dimasak apa, ta?"

"Bumbu kuning aja, Bu. Yang ada kuah-kuahnya. Seger."

"Coba besok ibu cari bumbunya di pasar." aku manggut-mangut. Bukan karena mengiyakan ucapan ibu. Tapi karena gurihnya lele bertemu pedasnya sambal terasi bikin aku abai dengan ucapan ibu. "Nak Tampan jarang kemari, sekarang?"

Aku diam.

"Dia suka apa? Biar ibu masakin."

Kali ini hampir tersedak.

"Anak kaya dia suka ikan tambak, ndak?"

Duri lele bahaya juga.


"Biar ibu masakin yang enak. Jangan kira masakan ibumu kalah sama restoran! Atau Nak Tampan ndak suka ikan?"

"Tampan... Ukhuk! Gg... suka."

"Kalo begitu ajak Nak Tampan kemari. Biar ngerasain enaknya Sup Ikan Nila Bumbu Kuning masakan ibumu!"

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang