12

2.4K 273 165
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Aku bingung harus apa. Keadaan membuatku menjadi mumi berjalan. Aku nggak sanggup tersenyum seperti biasanya. Ketika semua tergelak karena lelucon receh Helma, aku justru sama sekali nggak tersenyum. Semuanya kontras dengan diriku. Aku merasa seperti ada yang salah.

Kami masih sama-sama bersikukuh, baik aku maupun Tampan, nggak ada dari kami yang mencoba memulai pembicaraan lebih dulu. Aku? Entah. Aku hanya bisa menunggu. Aku rasa aku sudah cukup banyak memulai. Kami sama-sama punya ego, dan kami sama-sama punya keinginan tuk menenangkan diri lebih dulu.

Jika harus aku yang memulai, aku mau, tapi nggak sekarang.

Aku juga butuh ruang. Aku butuh waktu untuk bisa memahami semua ini. Yang nyatanya, aku juga nggak kadung paham. Keadaan seolah membuatku masih terlihat salah. Pertama, soal kejadian tumpahnya kuah mie ayam itu, kedua, ketika aku mencoba memukul Mavin, namun Tampan menahanku. Untuk pertama kalinya, aku nggak menemukan jawaban apapun atas gundahnya hatiku.

Di sisi lain, aku harus memikirkan latihan tari. Jadi, urusan Tampan makin kukesampingkan.

“Yo, jangan lupa numpuk buku ini di mejanya Bu Widya. Piket, kan?”

“Yaaa!”

Bel pulang berbunyi. Aku menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas. Selain menyapu kelas, aku juga harus mengantarkan buku ini ke guru yang bersangkutan. Niatnya, aku ingin langsung pulang. Tapi aku sadar kalau tempat pensilku tertinggal di laci.

Aku benar-benar merasa seperti zombie. Entah, aku rasa ini bukan aku. Ini bukan diriku. Joko Teo Wulandhana sedang dalam ruang sendu. Hatiku nggak selapang biasanya. Sesak. Kadang ingin menghirup napas dalam-dalam. Tapi, sensasi menghimpit itu datang lagi. Aku kira aku nggak akan semelow ini. Faktanya, semuanya malah merusak separuh hariku.

"Rupanya kamu disini?"

Suara itu menghenyakanku. Seperti petir di siang bolong. Detik itu juga mataku mendapati sosok yang belakangan ini memenuhi pikiranku. Alih-alih mendapati sambutan hangat, mimik wajah Tampan menghamburkan semuanya. Melenyapkan segala ekspetasi tentang kebahagiaan.

Tampan mendekatiku, dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada sedikit air di matanya. Mengkilat.

"Ada yang mau aku omongin."

"..."

"Aku harap kamu jawab jujur." Tampan menatapku tajam. Seolah menyuruhku untuk menuruti apa yang ia perintahkan. Tampan jarang begitu, dan itu berhasil membuat dadaku sesak.

"..."

"Sejak kapan kamu kenal Rona?"

"Beberapa minggu lalu."

"Dan kamu nggak bilang?"

Aku sukses mengerut. "Untuk?"

"Aku pacar kamu. Aku berhak tahu."

"Aku nggak ngerti, Pan?"

"Apa ucapanku kurang jelas? Aku bicara tentang satu orang."

Aku menggeleng. "Sebegitukah kamu ke sodara kamu sendiri?"

Kening Tampan bergelombang halus.

Mendadak aku teringat curahan Rona waktu itu di rumah makan Padang. Tentang dia yang nggak kunjung mendapat itikad baik Tampan. Tentang Rona yang terus merasa diasingkan dari sodaranya sendiri. Tentang ketertutupan Tampan. Tentang Rona yang merasa sendiri di rumahnya sendiri.

Aku nggak tahan.

"Apa harus kamu memperlakukan Rona seperti itu? Hanya karena kamu nggak siap menerima Rona?"

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang