10

2.3K 233 125
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Tampan menarikku dari kantin. Membawaku menjauh dari keributan itu. Tangannya menggenggam kuat pergelangan tanganku. Sampai aku sempat memekik sakit. Namun Tampan nggak peduli.

Kami berhenti di sudut yang sepi. Di sana Tampan memberiku tatapan paling tajam yang nggak pernah aku saksikan sebelumnya. Aku terkejut.

“Kamu ini kenapa, sih?” Kening Tampan mengerut sempurna. “Yo, kamu nggak seharusnya kekgitu!”

“Aku nggak ngapa-ngapain, Pan! Dia sendiri yang nabrak aku!”

“Kenapa dia harus nabrak kamu?”

“Mana aku tahu??”

“Sekarang, minta maaf sama anak itu!”

“Aku?” Aku sukses melongo. “Minta maaf atas sesuatu yang nggak aku lakukan?”

“Apa salahnya minta maaf?”

“Masalahnya aku nggak ngapa-ngapain, Pan! Aku nggak salah!”

“Apa minta maaf hanya tentang siapa yang salah?” Tatapan Tampan menyudutkanku. Aku kalap. Tampan nggak ngerti! Aku nggak ngapa-ngapain! Demi tuhan! “Terus kamu mau lari gitu aja? Tanpa menyelesaikan masalah?”

“Jadi kamu nyalahin aku atas kejadian ini?”

“Bukan nyalahin! Aku cuma mau masalah ini nggak melebar kemana-mana, Teo."

“Tapi kenapa harus aku yang minta maaf?”

“Bukan masalah kenapa harus, Yo!"

Aku menggeleng. Menatap kedua manik Tampan bergantian. Di sana alis Tampan masih menukik. Ibarat jembatan yang amblas dan roboh memusat ke tengah.

Nggak! Aku merasa benar di sini! Nggak ada yang salah dengan apapun yang sudah kuperbuat. Anak itu yang menabrakku! Dia yang membuat seragamnya kotor dengan sendirinya!

Tapi…

…kenapa Tampan nggak bisa melihat itu?

“Aku nggak peduli. Aku nggak ngerasa salah di sini.”

“Teo, please!

“Nggak!” ucapku final. Meninggalkan Tampan detik itu juga. Tampan berusaha menghentikanku. Panggilan itu beberapa kali hendak mengintrupsi langkahku. Namun tak bisa, aku terlalu bodoh jika harus melakukan hal itu. Aku nggak ngerti kenapa Tampan memaksaku seperti itu. Seolah, dalam hal ini dia ikut menyalahkanku. Memandang bahwa aku penyebab dari semua ini.

Kenapa Tampan nggak percaya aku? Aku nggak pernah menabrak anak itu dengan sengaja! Dia yang menabrakku! Dia juga yang membuat seragamnya kotor! Tapi… Tampan turut menyalahkanku. Menyalahkanku atas sesuatu yang nggak pernah aku lakukan! Kenapa justru aku yang dipandang salah?

Pada akhirnya aku berusaha melupakan hal itu. Malamnya Tampan mengirim pesan. Aku kira dia nggak akan membahas hal itu lagi.

Ternyata dugaanku salah.

Dia masih membicarakan itu, sampai-sampai kami harus berdebat lagi. Aku mengakhiri pesan sepihak. Mematikan ponsel tanpa memikirkan reaksi Tampan setelahnya.

Siangnya di sekolah, aku mencoba menjalani hari seperti biasanya. Melupakan kejadian hari lalu dengan berbagai pikiran positif. Belum lagi kami ketambahan jam kosong mendadak, aku langsung menghibur diri dengan menghambur ke perpus. Mencari buku bacaan. Aku merasa jadi orang paling aneh sedunia karena mendadak mencintai perpustakaan.

Di sana aku membaca banyak buku, alih-alih melupakan masalah yang menderaku saat ini.

Namun takdir berkata lain.

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang