04

3.4K 331 26
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Sebenarnya aku masih nggak terima akan keputusan Rara memilihku sebagai perwakilan pensi. Yang pada akhirnya aku harus dimarahi Rara karena terus mengomel. Aku nggak peduli kelas katanya, bukannya hitung-hitung berkontribusi dan menyelamatkan kelas dari denda. Lagi pula, aku memang nggak pandai menari, terlebih aku ini demam panggung!

“Semua orang juga demam panggung keles! Nggak usah banyak alesan! Toh kamu manggung juga nggak sendiri, kan?” kiranya begitu jawaban Rara ketika aku masih protes. Yaaa gimana, ya? Rasa aku masih keberatan.

Siti menunjukkan beberapa referensi video tari, yang sengaja ia download dari internet. Semua kelihatan sulit buatku. Sedangkan Siti sudah mulai sedikit demi sedikit meniru gerakan yang ada di video.

“Tenang, kakakku guru tari. Aku udah bilang dia mau ngajarin, kok.” ucapnya. Sedikit bikin aku lega memang, tapi nggak sepenuhnya. “Kapan mulai latihan?”

“Terserah kamu aja.”

“Minggu depan kali ya? Ini video biar kakakku ngebedah koreonya dulu.” ujar Siti. Dan lagi-lagi aku hanya bisa menurut.

Selepas itu aku jadi sedikit sensi pada Rara. Entah, rasanya aku kecewa karena dia memilihku tanpa ijin. Padahal, aku pikir Helma lebih pantas. Toh dia pernah ikut festival tari setahun yang lalu. Mewakili sekolah meski hanya sampai seremperat final. Dan ternyata, Helma masih cidera kaki sehabis futsal ketika kutanyai.

Ternyata, latihan narinya maju dari perkiraan awal. Kakak Siti udah tahu betul koreonya, karena dia pernah membawakannya di acara festival. Siti memberikanku alamat sebuah sanggar. Mmm… mungkin lebih tepatnya studio latihan? Jadi sepulang sekolah, sehabis makan siang, aku langsung menuju ke sana. Dan menjumpai Siti yang melambai menyambutku di halaman gedung.

“Lama ya? Udah kek nunggu bukaan lahiran!” sungutnya. Lalu mengajakku masuk. Melewati sebuah lobi. Menjumpai lorong dengan beberapa ruangan. Siti memilih salah satu pintu. ketika kami masuk, udara dingin menyambutku. Dan menjumpai dinding cermin besar di salah satu tembok. Dan tepat di ujung sana, seorang wanita dewasa berbelit slendang di pinggang menyambut kami.

“Mas Teo, ya?” sapanya. Aku buru-buru menyalami.

“Iya, Mba.”

“Saya Mba Ranti, kakaknya Siti. Kemarin Siti bilang mau ngisi pensi tari, ya?”

“Iya, Mba. Beberapa minggu lagi.”

“Kebetulan, Mba sudah tahu koreonya. Jadi kita bisa langsung latihan.”

Kami memilih Tari Driasmara, tari antar lawan jenis, asalnya dari Surakarta, menceritakan tentang kisah asmara Panji Asmara dan Dewi Sekartaji. Sebelum latihan kami melakukan pemanasan, lalu memulai bagian koreo pertama. Di situ aku mulai merasa kesulitan. Badanku kaku mirip robot. Bahkan aku nggak bisa membedakan kapan harus menggerakan kaki kanan, kapan harus kaki kiri. Jangan tanya Siti bagaimana. Meskipun dia bilang terakhir menari waktu SMP, dia masih luwes, bahkan sama sekali nggak kelihatan kaku, yang pada awalnya dia bilang nggak bisa itu.

“Kanan-kanan, kiri-kiri, nan-kanan, kiri-kiri. Lagi! Kanan-kanan, kiri-kiri, nan-kanan, kiri-kiri!” aba Mba Ranti dengan tepukkan. “Segitu saja dulu. Mba kasih waktu istirahat lima belas menit. Nanti setengah jam kita latihan lagi buat mantepin. Oke?”

Tentu aku penuh peluh. Merasa basah di bagian punggung. Meskipun ruangan ini ber-AC, nggak membuat kami berhenti mengeluarkan keringat.

Aku dan Siti keluar ruangan. Berjalan-jalan sebentar, sekaligus mencari di mana letak kantin. Aku membeli minuman isontonik, yang aku nikmati sambil mendengar cerita Siti.

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang