[방힘] Comfort Crowd

307 44 14
                                    

My breath's gettin' short and I'm unsteady
Wellin' up in tears as I lay upon your belly.
Telling you I'm fine.
I don't really need nobody.
But you say through a sigh
That I said that lie already

*

"Himchan, bisa ketemu hari ini?" Suara dari sambungan telepon itu masih sama, halus dan menenangkan. Sayangnya, Himchan menanggapinya dengan helaan napas panjang serta lelah hari ini, "ngga bisa..."

"Minggu ini?" Lagi, pertanyaan itu kembali dijawab dengan nada enggan. "Ngga bisa. Mau minggu ini atau kapanpun. Aku udah ngga bisa ketemu kamu, Taekwoon."

Ada hening di antara jeda, baik Himchan maupun Taekwoon enggan memulai sebuah pembicaraan lagi. Tapi keduanya juga enggan untuk mengakhiri sambungan telepon yang mungkin tidak akan terjadi lagi setelah ini.

"Kamu dimana?" Yang ditanya masih enggan membuka suara, membiarkan hiruk-pikuk suara tempatnya berpijak saat ini ditangkap oleh olfaktori lawan bicaranya di lain tempat.

"Hime?" Panggilan terhadap namanya terjadi lagi, dan ia tak habis pikir jika Taekwoon masih memanggilnya dengan sapaan penuh afeksi seperti barusan. Himchan menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis. Sedetik kemudian, ia mengakhiri panggilan secara sepihak. Telunjuknya bergerak cepat walau gemetar, mencari fitur blokir pada ponselnya dan mengakhiri semuanya hari itu.

Pemuda dengan marga Kim itu lantas mengubur wajahnya di balik telapak tangannya yang terasa dingin. Dadanya terasa sesak, ingin menangis sekeras-kerasnya tapi tidak bisa. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan. Hari itu, Kim Himchan menangis dalam diam. Tenggelam dalam hiruk-pikuk aktivitas bandara yang sibuk, dalam kesendirian dan patah hati terbesarnya.

***

Los Angeles. Kota yang secara random dipilih Himchan untuk lari dari kenyataan. Denial jika ia baik-baik saja, dengan sebuah senyum ia pamit kepada kedua orang tuanya dengan alasan tawaran pekerjaan dengan penghasilan fantastis sebagai creative designer untuk sebuah label musik ternama atas rekomendasi kantornya.

"Himchan, firma arsitektur Papa bisa jadi media pembelajaran kok kalau alasanmu pergi itu karena ingin mengembangkan bakat. Atau agensi kreatif dalam negeri? Banyak juga yang bagus kok." Kala itu ibunya terus membujuk agar Himchan tetap tinggal saat beberapa sweater masuk ke dalam koper besar satu per satu. "Nak? Dengar Mama kan?"

Seulas senyum diberikan Himchan kepada ibunya. Kegiatannya melipat pakaian yang akan ia bawa terhenti sejenak, memilih beranjak menghampiri sang ibu yang cemas dan khawatir. Jemari lentiknya menggenggam milik ibunya dengan remasan halus serta usapan lembut menenangkan.

"Mama, ini kesempatan loh! Jarang ada mahasiswa baru lulus udah ditawari kerja di sana kan? Anak Mama ini hebat, masa ngga bangga? Masa mau menghalangi, Hime?"  Diam-diam, Himchan seperti menelan pil pahit dari semua kebohongan yang ia utarakan kepada ibunya yang kini tengah cemberut, berperang batin antara harus mengizinkan buah hatinya pergi jauh, atau harus menahannya di rumah.

Nyatanya, Himchan sama sekali tidak menerima tawaran apapun. Proyek dengan label di Los Angeles sendiri baru akan berjalan enam bulan kemudian. Ia mungkin akan bekerja, tapi nanti, untuk sekarang ia mengajukan surat cuti jangka panjang dengan alasan ingin mendalami bidangnya dalam rancangan kreatif yang mungkin akan berguna untuk perusahaannya selepas ia pulang dari Los Angeles.

Nanti, masalah pekerjaan bisa ia pikirkan asal bosnya setuju melepas Himchan walau dengan berat hati, yang jelas ia perlu pergi dari tanah kelahirannya sendiri untuk menyembuhkan luka yang semakin lebar.

[Parenting Ship] One Way to YouWhere stories live. Discover now