[택엔] Hello Wonshik 3

346 55 8
                                    

Menikah.

Seharusnya, kata itu menjadi sebuah berkah bukannya malapetaka.

Seharusnya Hakyeon senang jika benar ia akan menikah dengan restu dan segala hal baik lainnya.

Tapi, semuanya sudah terlanjur. Nasi telah menjadi bubur, gula telah larut dalam air mendidih. Semuanya tidak akan pernah kembali seperti semula sekeras apapun Hakyeon menangis dan mohon ampun atas semua dosanya kepada Tuhan dan kedua orang tuanya.

Ia hanya sedikit beruntung, laki-laki yang kini berada di depan pintu rumahnya tidak lepas tangan atau yang paling buruk menyuruhnya untuk membunuh janin yang tak bersalah.

Alih-alih lepas tanggung jawab, pagi itu Taekwoon datang dengan sebuah senyum yang masih belum bisa membuat Hakyeon terbiasa. Wajahnya lelah luar biasa, tidak jauh beda dengan wajahnya sendiri.

"Kita mau kemana?" Pertanyaan itu muncul ketika Hakyeon duduk di kursi penumpang setelah Taekwoon mengantongi izin ibunya untuk membawa Hakyeon pergi hari itu. Ayahnya? Jangan tanya, beliau masih tidak sudi bertatap muka dengan Taekwoon.

"Ke rumah kita." Taekwoon menginjak pedal gas dengan presisi, memutar kemudi dengan ahli, lalu menyalakan pemutar musik tanpa diminta, "perjalanannya sedikit jauh karena di luar kota. Kalau kamu lapar, di belakang aku bawa bekal, Jaehyun belajar masak katanya. Oh ya, kalau mual....ambil permen di sini ya?"

Diam. Hakyeon tidak tahu harus merespon seperti apa selain sebuah senyum tipis serta helaan napas, lalu mengalihkan pandangannya menatap jendela, sesekali mengangguk mengikuti alunan musik yang menggelitik olfaktorinya. Interaksi dalam bentuk apapun terasa canggung dengan Taekwoon.

Dan apa katanya tadi? Rumah kita? Sebenarnya, sejauh mana laki-laki di sampingnya ini berjalan terlebih dahulu ke depan hanya untuk memastikan semuanya adalah yang terbaik bagi mereka?

Sebelumnya, mereka hanya sekedar tahu nama satu sama lain, berpapasan di koridor tanpa menyapa, dan beberapa kali terlibat dalam kerja sama tim universitas. Takdir kadang memang lucu menyatukan kedua insan.

Terkadang manis, terkadang sedikit tragis. Sialnya, mereka berdua kebagian yang tragis. Miris.

"Kamu mau kerja apa setelah ini? Ayahmu pasti blacklist namamu dari semua perusahaan." Pertanyaan pertama keluar dari celah bibir Hakyeon yang masih enggan menatap Taekwoon meskipun dari samping. "Akuntan pasti ngga banyak dibutuhkan selain di ibu kota dan kota metropolitan."

"Ngga tahu, mungkin aku bisa kerja di kafe-kafe kecil jadi barista. Itupun kalau ada kafe," terkekeh sejenak sebelum melanjutkan, "atau dimana aja asal bisa dapat uang, buat makan sama kebutuhan sehari-hari. Ngajar jadi guru TK juga bagus kan? Sekalian latihan jadi ayah." Kembali ada kekeh halus yang terdengar tulus dari Taekwoon yang membuat atensi Hakyeon tertarik begitu cepat.

"Antusias banget ya yang mau jadi ayah? Padahal tugas ayah ngga semudah itu." Sarkasme itu terdengar begitu jelas, dan Taekwoon hanya menghela napas menanggapinya, "jujur, aku ngga siap jadi ibu. Aku takut. Takut banget. Ngurus anak itu seumur hidup."

Pedal rem diinjak, dan mobil Taekwoon menepi di depan minimarket. Ia melepas sabuk pengamannya, lantas memberanikan diri menggenggam jemari Hakyeon yang sempat ditolak oleh empunya.

"Hei, bisa lihat aku bentar aja?" Hakyeon menurut, mendadak beku saat tangan besar Taekwoon membingkai wajahnya dan mengusap lembut pipinya, "ingat kan kalau aku bilang kita pasti bisa melewati ini semua? Aku juga takut. Tapi aku sadar kalau aku takut, siapa yang bakal melindungi kamu sama baby? Kita mungkin ngga bisa jadi orang tua yang sempurna, tapi kita bisa mencoba jadi yang terbaik. Kita harus kuat. Demi bayi kita, Wonshik."

[Parenting Ship] One Way to Youحيث تعيش القصص. اكتشف الآن