"He claimed me as his girlfriend in front of them. Mereka kaget banget. Ya lo pikir aja, masa gue tiba-tiba nolak ngobrol sama Stefan. Gimana kalau perkiraan gue kalau dia mau pedekate sama gue salah? Sayangnya perkiraan gue terbukti bener pas Mark udah dateng." keluh Kiera lagi.


"Timing-nya emang jelek banget, sih." Jennie menepuk bahu Kiera prihatin. Ia menatap Kiera penuh empati. "So, apa yang Mark lakuin sampai lo galau gini?"


"Dia marah sama gue. Diemin gue udah tiga hari. Dia bilang kenapa harus dia terus yang negasin ke orang-orang kalau gue pacarnya. Padahal kan emang timing-nya yang selalu gak tepat."


"Wait, wait. Dia terus? Emang sebelumnya kalian pernah berantem gara-gara itu juga?"


"Ehm... Well... di hari pernikahan kakaknya, kita berantem gara-gara gue ngobrol sama Wira. Sama juga permasalahannya. Di situ gue belum sempet bilang ke Wira kalau gue sama Mark pacaran. Orangnya keburu dateng. Unfortunately, Mark tau kalau Wira pernah suka gue dulu dari Daniel. And you know what happened next."


"Astaga... sial banget temen gue yang satu ini." Jennie masih menepuk-nepuk bahu Kiera. "But it's all misunderstanding, right? Kalian tinggal ngomongin ini baik-baik."


Kiera mendesah dengan gusar. "Nah itu dia masalahnya, Jen. Dia marah gara-gara gue minta kita dinginin kepala dulu sebelum ketemu buat bicarain ini. Tapi dia maksa buat bicarain saat itu juga. Ya gue tolak. Gue nggak mau kita bicara waktu lagi emosi kaya gitu. Eh gue malah didiemin sampe sekarang."


Kini Jennie malah tertawa, membuat Kiera menatapnya bingung. "Resiko pacaran sama brondong kayanya, Ki." ujarnya sambil masih terkekeh.


"Rese lo!" protes Kiera kesal. "Ya bukan salah gue kan kalau gue belum bisa bilang ke Wira atau Stefan kalau gue pacarnya di saat kaya gitu?"


Jennie tertawa semakin keras melihat Kiera kelimpungan karena laki-laki untuk pertama kalinya. Ia menarik napas berkali-kali mencoba menghilangkan tawanya. "First of all, lo nggak salah karena lo ada di posisi yang nggak memungkinkan lo buat bilang ke mereka."


Kiera menatapnya dengan pandangan yang mengatakan, 'Right!? I told you!'. Namun sebelum Kiera terlalu bersemangat, Jennie kembali melanjutkan kalimatnya.


"But! There's a 'but' to it," Jennie mengangkat sebelah tangannya di depan Kiera. "Menurut gue, dia ingin lo ngakuin dia sebagai pacar lo di depan orang-orang. Lo udah jalan berapa bulan sih, Ki. Dan berapa banyak orang yang tau kalau lo berdua pacaran? Cuma gue sama anak-anak, Dylan, temen-temen deketnya Mark, dan keluarga kalian. That's it."


"Ya terus menurut lo gue harus bikin pengumuman gitu?" tanya Kiera dengan nada sarkastik.


"Nggak gitu juga, Ki. Astaga ni anak," keluh Jennie keras-keras. "Paling simple aja deh. Pernah nggak lo post something yang berhubungan sama Mark di instagram lo?"


Kiera menggeleng polos. "Emangnya harus, ya?"


"Normalnya sih nggak harus. Tapi jadi harus di kasus lo ini. Gue tau lo bukan tipe-tipe yang suka update instagram dengan foto-foto selain hasil foto yang lo ambil atau foto lo sama keluarga lo. Tapi kalau nggak gitu orang-orang bakal terus ngira lo masih single sampai sekarang. Dan Mark akan semakin kesel karena kalau itu terus kejadian, dia merasa 'nggak dianggap' sebagai pacar lo."


Kiera terdiam membayangkan bahwa ia harus melakukan apa yang Jennie perintahkan. Jujur ia tidak siap dengan perhatian yang akan ia dapat setelah melakukan itu. "Harus banget, ya, Jen? Mark bukan tipe cowok narsis yang ingin masuk ke instagram gue, kok." Kiera masih meragukan saran Jennie.


retrouvaillesWhere stories live. Discover now