Pertemuan Yang Tak Disengajakan #7

Start from the beginning
                                    

"Dih kok jadi gue? Kan gue orang Jakarta asli," sewot Sherlita mengernyitkan dahinya melemparkan sorot tajam.

"Gue juga orang Jakarta," timpal Rio cepat.

"Gue yang lebih tau."

"Res, yang kenal lebih lama sama lo kan gue. Dia baru kesini kemarin. Percaya sama gue," bujuk Rio.

"Gak usah dengerin dia. Lihat gue," tarik Sherlita memutar tubuh Restu yang plonga-plongo melihati pertengkaran mereka berdua. Padahal dari pengakuan mereka, Rio dan Sherlita baru berkenalan dan bertemu kemarin tetapi sekarang mereka berdua bertingkah seperti sepasang kekasih yang sedang saling beradu argumen.

"Pokoknya jangan—"

"Kapten Rio, lo gak apa-ap..." celetuk sebuah suara lain yang langsung membuat semua mata tertuju pada sosok Adi yang datang.

Rio sempat dibuat kaget hingga dirinya tersadar bahwa sedari tadi dirinya masuk beberapa menit lalu, ia terlupa untuk menutup kembali pintu depan rumah karena saking paniknya Rio mengetahui bahwa Sherlita sedang berteriak panik dari seberang panggilan telepon tadi.

"Loh, lo kok?" tunjuk Rio dan berjalan cepat mengunci pintu depan.

Sherlita yang masih duduk berdampingan dengan Restu dibuat bertanya-tanya. Oke, kini siapa lagi laki-laki memiliki kulit sawo matang yang datang langsung menatapnya dengan mata berbinar-binar itu?

***

Dalam diam, Sherlita memperhatikan sosok Rio yang duduk tak jauh darinya itu sedang menghembuskan nafas sesekali memejamkan mata. Belum apa-apa, kini semuanya sudah kacau balau. Ditambah, dua orang anak buah dari kompinya itu juga enggan mengucap sepatah kata pun. Sepertinya mereka sudah hafal kalau Rio sudah begini, maka tidak boleh ada yang mengganggu.

"Jadi—"

"Diem," potong Rio dingin pada ucapan Sherlita yang langsung membuatnya terkesiap.

"Jadi, dia... datang dari Jakarta ke daerah konflik disini sekarang ini terus ngaku lagi diburu pembunuh bayaran? Terus dia bakalan tinggal di rumah Kapten ke depannya buat melindungi diri? Tapi kapten sama sekali belum melapor ke bagian keamanan?" celetuk Adi yang menenkankan poin-poin kejadian yang Sherlita alami.

Mendengar itu sontak membuat Rio, Sherlita, dan Restu mengangguk secara bersamaan tidak sadar.

"Terus..."

"Gue gak melapor karena gue mempertimbangkan satu dua hal lain. Kalo gue melapor, dia pasti akan ditahan di bagian keamanan. Karena... lo tau sendiri Kodam ini daerah konflik. Dari bagian keamanan sendiri pasti akan menahan dia beberapa hari. Selama itu pula kita gak akan tau gimana nasibnya, kalau pun memang dia pada akhirnya akan dipulangkan ke Jakarta, pasti pembunuh bayaran itu masih ngejar dan akan tetap tuntasin pekerjaannya. Karena sepengetahuan gue, mereka ahli dalam hal ini. Bahkan firasat gue mengatakan kalo salah satu dari mereka adalah mantan marinir tentara pasukan khusus. Bahkan polisi pun bakal kewalahan nanganin mereka. Karena gue yakin sindikat pembunuh bayaran itu gak hanya organisasi biasa, mereka pasti terorganisir dan telah berjalan lama. Kita juga gak bisa biarin masyarakat sipil seperti dia dalam ancaman padahal kita sendiri pun tahu bahwa dia dalam bahaya," jelas Rio panjang lebar yang untuk pertama kalinya Sherlita dengarkan. Dirinya mengira kalau laki-laki itu begitu cuek dan dingin sampai mengucapkan kalimat lebih dari sepuluh kata saja enggan.

Well, sepertinya tidak heran sih mengapa Rio bisa menjabat sebagai kapten. Saat dia berbicara biasa saja, aura kharimatik dan kepemimpinannya begitu menyala.

"Tapi kapten, kita juga gak bisa biarin dia tinggal disini, daerah ini adalah daerah antara pertahanan garda terdepan dengan orang-orang yang ikut gerakan separatis di luar sana. Apalagi sekarang banyak teror penembakan senjata," balas Restu menjelaskan.

Perfect Date, Kapten RioWhere stories live. Discover now