Saat Tangan Takdir Bekerja #3

4.5K 286 3
                                    

"Sher, mama pegal nih kamu senderan terus dari tadi," rengek seorang wanita paruh baya yang sontak membuat Sherlita terkekeh. Bukannya menuruti, Sherlita malah semakin mendekat dan makin menyenderkan kepala.

"Enak banget mah, Sherlita pengen terus sama mama," balasnya sembari melingkarkan tangannya pada lengan sosok perempuan itu.

"Dasar kamu ini, bukannya nyender pacar, tapi masih aja nyender mama nya."

Tidak menjawab, Sherlita memejamkan mata dan tersenyum senang. Sudah lama dirinya tidak merasakan perasaan senyaman ini.

Dalam diam, ia mencium bebauan aroma wangi dari parfum yang biasa mama nya itu pakai. Begitu harum semerbak yang bisa membuat siapa saja harus bersusah payah untuk melupakan.

Entah merk parfum apa yang mama nya pakai, karena perempuan paruh baya itu tidak ingin memberitahu, sampai-sampai aroma khas percampuran bunga edelweiss dan lavender itu hanya milik mama nya saja yang bisa pakai.

"Mama wangi banget dah."

"Dih, mama tau modus kamu, pengen nanya merk nya kan? Hihi."

Sialan, motif tersembunyi dari Sherlita ketahuan juga. Lagipula, Sherlita lupa kalau lawan bicaranya kali ini adalah mama nya sendiri yang cerdas dan tidak mudah dibohongi.

"Mama disini aja ya?"

"Katanya kamu pengen tinggal di Austria?"

Sherlita menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Ia mengerjapkan mata mengamati cuaca luar dengan gerimis hujan mulai jatuh mengenai jendela besar apartemennya.

Sungguh kali ini momen yang indah, duduk berdua bersama orang yang Sherlita sayangi di sofa empuk, dua gelas coklat hangat sembari mengamati rintik hujan perlahan turun, dan sayup sinaran matahari sore perlahan terbenam di ufuk sana.

Benar juga, Austria ya? Negara yang selalu Sherlita elu-elukan sejak dulu. Bagaimana tidak? Danau Hallstatt, perumahan bergaya tradisional eropa, pemandangan serba hijau di musim semi dan panas, bermain selancar ski es di musim dingin dan hamparan pegunungan Alpen menyelimuti.

Sialan, imajinasi yang berkeliaran akan tempat itu membuat Sherlita tersenyum merenungi. Ya, suatu saat dirinya pasti akan kesana, setidaknya sekali sebelum dirinya menghembuskan nafas terakhirnya.

"Kenapa gak kita berdua aja yang kesana?" balas Sherlita menggumam.

Meski begitu, terdengar nada kesedihan dalam ucapannya tadi. Bu Elinda tau bahwa anak gadisnya itu menyadari satu fakta yang ada, bahwa sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa merasakan kenyataan itu.

Sherlita memutuskan untuk membenamkan wajahnya dalam bahu, menahan segala tumpahan rasa yang berusaha turun menghujani pipi. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan ibunya sendiri.

Hingga tak lama, Sherlita merasakan sebuah tangan lembut mengelus pelan rambut panjangnya. Sialan, semakin lama rasanya semakin menyesakkan dada. Tentu ini mimpi, meski begitu Sherlita merasa amat sangat bahagia. Telah lama mereka berdua tidak saling bertemu. Sherlita berharap dirinya bisa merasakan kehangatan kasih sayang seperti ini lebih lama lagi.

"Mah, jangan pergi lagi," ucap Sherlita berbisik namun masih dapat Bu Elinda dengar dengan jelas.

"Kamu harus bahagia ya? Dengan atau tanpa mama. Sherlita harus selalu tersenyum, jagain papa sama Ferdi ya? Kan anak perempuan pertama bahu nya harus sekuat baja."

Tidak, dirinya tidak sekuat itu. Sherlita begitu kesepian selama ini. Segala hal yang dirinya punya tidak sebanding dengan rasa sakit yang terus ia pendam sendirian.

"Jangan pergi, ma!" ucap Sherlita lagi kini sedikit lebih berseru.

Tak lama, sebuah peluk datang mendekap erat tubuh Sherlita yang begitu lemah. Terasa hangat dan rasa nyaman menyerbu diri.

Perfect Date, Kapten RioWhere stories live. Discover now