Special Ending 2 (My Picture)

Mulai dari awal
                                    

"Heh, My. Don't you think he's very... hot?" Valerie berbisik lagi.

"Lo pikir sambal, hot," balas gue. 

"Lo nggak lihat sih gimana cara dia menatap lo barusan. 'Kan gue yang lihat."

"Ya udah, lo pura-pura aja nggak lihat."  Kalau lawan bicara gue Valerie, nggak bisa pakai nada yang biasa-biasa saja. Harus ada gasnya sedikit. 

"Muka lo merah tuh." Dia tersenyum usil.

Gue dengan gaya kalem, menginjak kakinya yang berada di bawah meja. Dia mengaduh kesakitan tanpa suara.

Meeting berjalan lama, membahas proses alur kerja, material desain, juga rancangan maket yang telah disiapkan Nila. Kadiv gue memang selalu bergerak cepat.

"Baik. Setelah ini, kita bisa kerja di tempat masing-masing. Tim UX, laporkan segala progress kepada Nila, biar Nila yang melempar segala bentuk desain kepada saya. Nanti saya dan tim yang akan mengeksekusi. Walaupun kita dari perusahaan berbeda, saya harap kita tetap bisa bekerja sama dengan baik." Bima menutup presentasi. 

Nilang menyambungkan, "Terima kasih kepada... siapa nih biar enak manggilnya? Pak? Mas?" pertanyaan Nila mengarah kepada Bima. 

"Mas gondrong!" celetuk Valerie tanpa tahu malu. 

Gue langsung menginjak keras-keras kakinya. Semua yang ada di ruang rapat tertawa, tak terkecuali Bima. 

"Panggil apa pun terserah. Tanpa embel-embel pun, seperti Nila saja, tidak masalah. Biasa aja," ujarnya kalem. 

Valerie menyahut lagi, "Apa, My? Manggilnya sayang?" Pertanyaan keras itu dilemparnya ke gue. 

Sontak gue mendongak, membekap mulut Valerie hingga ia meronta, kesulitan bernapas. Kepala gue buru-buru menggeleng ke arah Bima. Mengklarifikasi lewat isyarat mata. Nggak, Bim. Bukan gue yang ngomong.

Semuanya tertawa sambil berbisik-bisik, sementara Nila melotot kepada kami berdua. Ya Tuhan, gue pikir setelah bekerja, gue akan menemukan teman yang nggak gila. Ternyata malah lebih abnormal dari Nanang. 

"Maafin tim saya yang sedikit... kurang sopan, ya." Dia menjeda. "Kalau begitu, selesai sudah agenda kita hari ini. Terima kasih banyak teman-teman. Semoga kita bisa mengeksekusi rencana ini tanpa kendala yang berat." 

Meeting selesai pukul dua belas tepat. Kami keluar ruangan rapat dengan gue yang nggak berhenti mengomeli Valerie ditimpal Nila yang malah mengomeli kami berdua. 

"Kalau timnya Pak Rajen kaku bin formal, bisa mati lo berdua bertingkah kayak tadi," omel Valerie yang mengangkat gulungan maketnya ke arah kami berdua. Dia pasti mehanan diri agar tidak menjitak ubun-ubun kami, staff-nya yang tolol ini.  

Ali, Ben dan Rifki, yang mendengar pertikaian kecil itu, menghampiri kami. 

"Tenang aja, Pak Rajen selalu berkata kepada kami, kalau bekerja di sini, berbeda dengan di kantor bisnis. Tekanan kerja di bidang informatika punya presure yang sangat tinggi, jadi gampang stress. Relasi kekeluargaan dan teman belajar satu sama lain tanpa menanggalkan sopan santun, rasanya lebih cocok," jelas Ali. 

Kami bertiga mengangguk. Nila angkata suara, "Ya, betul, sih. Tapi tadi emang dua bocah ini kelewatan. Maaf, ya. Kayaknya gue juga harus minta maaf ke Bima." 

"Nggak perlu." Bima muncul dari belakang punggung tiga lelaki itu. Mereka menggeser tubuh, mempersilakan Bima berbicara. "Santai aja," sambungnya singkat. 

Entah ini sudah ke berapa kalinya tubuh gue mematung di tempat bak mati rasa. 

Nila mengangguk sungkan, "Kalau gitu kami duluan ya, Bim." Nila menarik Valerie, keduanya menjauh. Ali, Rifki dan Ben terlihat menahan senyum sembari berlalu. 

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang