sepuluh

4.6K 352 101
                                    

4.4K words.

.

.

.

.

.

"Apa yang membuatmu ragu?" Nyonya Phiravich memelas berbicara pada suami-nya yang seolah tidak peduli akan setiap ukara yang istri-nya itu ucapkan.

"Kau mengetahui putramu selalu menghabiskan waktu bersama mereka, tapi kau tak melakukan apapun, tidak juga menghentikan persiapan perjodohan Mean dengan entah anak teman kolega-mu yang mana lagi, apa maumu? Apa rencanamu?" beliau membuang nafas pelan, "Tidakkah—"

"Berhentilah mengoceh dan istirahatlah. Kesehatanmu sedang tidak bagus," Tuan Phiravich menyela tegas dan tak ingin dibantah. Meletakkan Koran berisikan berita politik Negara yang didapatnya tadi pagi, tuan Phiravich berbalik, menatap istri-nya sekilas.

"Dan berhenti memikirkan hal-hal tidak berguna." Kemudian berlalu menjauh.

Selain membuang nafas pasrah, nyonya Phiravich tidak mengerti lagi harus bertindak bagaimana. Keras kepala Mean adalah warisan dari suami-nya, tidak terbayangkan betapa kerasnya kemauan sang suami mengenai perjodohan Mean dengan salah satu anak dari teman bisnis. Nyonya Phiravich tidak bisa membayangkan bagaimana meledak-ledaknya Mean ketika mendengar kabar soal perjodohan ini—lagi dan lagi.

***

Kaki Aleysia membaik, ia sudah tidak pakai kursi roda, bahkan pergelangan kakinya sudah tidak lagi di pasang gips dan perban, seperti yang pernah dikatakan, Aleysia hanya mengalami cedera ringan, lagipula usia-nya masih sangat belia sehingga masa penyembuhan tulang kakinya cepat. Plan bersyukur atas itu, dua minggu tidak bersekolah, Aley tertinggal banyak pelajaran dan hal itu sedikit membuat Plan risau. Thailand dan Jepang memiliki system pendidikkan yang jelas jauh berbeda, Plan hanya khawatir jika hal tersebut akan menyulitkan putrinya.

Saat ini, Plan sudah bersiap diparkiran dekat lobby sekolah, ini masih lima belas menit lebih awal namun Plan sudah siap menunggu Aley pulang sekolah. Ia sangat khawatir, Plan sengaja meminta ijin lebih awal daripada biasanya pada paman Deichi hanya untuk menunggu Aley sebelum anak itu keluar sekolah, meski Plan merasa sungguh tidak enak hati, pasalnya paman Daichi terlampau pengertian akan posisi-nya sebagai orang tua tunggal.

Benar, Plan sudah memiliki Mean disisinya sekarang, namun status mereka masih belum berubah, Plan masih belum terbiasa terlalu memberatkan Aleys pada Mean, lagipula, Mean tengah melakukan perjalann bisnis di Taiwan sampai lima hari kedepan.

Plan keluar dari dalam mobil ketika melihat tubuh putrinya berjalan pelan bersama Pun dan salah seorang lagi yang kalau Plan tidak salah ingat bernama Odrey, ia bernafas lega ketika mendapati putri-nya itu terlihat tidak mengalami kesulitan dalam hal berjalan, walaupun Plan masih sedikit atau bahkan sangat khawatir.

Aley mendekat dengan kedua kawannya, Plan menyambut dengan memeluk pelan putri-nya, lalu memberi sapaan hangat kepada Pun juga Odrey.

Keduanya masuk kedalam mobil ketika Pun juga Odrey pamit undur diri. Plan membantu memakaikan sabuk pengaman dan setelahnya mobil sudah melaju melewati beberapa kerumunan siswa.

"Apa paman Mean udah pulang?" Tanya Aley pelan. Ini sudah pertanyaan kesekian dari Aley tentang kapan Mean kembali ke Bangkok, padahal baru kemarin pagi Mean berangkat.

Plan terkekeh, "Senin depan sayang," melirik, "Udah berapa kali tanya, huh?" Lalu terkikik geli.

Aleysia mencibik, lalu memilih untuk menatap keluar jendela dengan gumaman yang tidak jelas. Plan bisa melihat bahwa putri-nya tengah cemberut sebal, merasa jengkel akan sesuatu dan hal itu malah membuat Plan semakin ingin tertawa kencang.

HOME | end'Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora