dua

5K 455 56
                                    

"Kamu sudah berusia 31 tahun, Mean!"

Makan malam tak akan pernah berjalan baik. Begitu setidaknya presepsi Mean persoal makan malam bersama keluarga sejak enam tahun yang lalu. Ide bagus untuk memilih tinggal terpisah dari kedua orang tuanya, membeli sebuah penthouse mewah dan hidup sendiri. Atau jikalau tidak, Mean akan mengalami hal serupa disetiap moment makan mereka; makan pagi, siang, atau malam. Sungguh!

Hari ini ibunya memaksa Mean untuk datang, beralaskan makan malam bersama karna mereka rindu kedua anak laki-lakinya meski alasan yang sebenarnya ialah; Mean, cepat menikah!

"Kamu butuh ahli waris."

Mean memiliki seorang adik laki-laki yang berusia dua tahun dibawahnya, dan sudah memiliki dua putra—akan genap dua, bulan depan. Ini tidak seperti adik Mean yang tidak akan mewarisi apapun mengenai harta keluarga mereka, tetapi karna memang adiknya sudah memiliki perusahan sendiri yang bergerak di bidang game—games developer—yang sudah dirintis sejak usianya masih 23 tahun. Secara teknis, adiknya tidak memiliki kewajiban untuk mengurus perusahaan keluarga, dan benar! Mean sebagai kakak tertua, dan sudah sewajarnya bahwa ia yang berkewajiban mengurus beserta memberikan perusahaan keluarganya itu seorang ahli waris. Jangankan hal itu, Ibunya pernah nyaris mendapat stroke ringan hanya karena Mean yang menolak dijodohkan lebih dari sepuluh kali.

Perjodohan tidak mungkin terjadi jika setidaknya satu kali saja Mean mengenalkan calon istrinya kepada ibu dan ayah.

Semenjak kepulangannya dari London 10 tahun lalu, dan sampai detik ini Mean bernafas, tidak ada satu waktu pun dimana Mean membawa seorang perempuan dihadapan ibu dan ayahnya.

Orang tua mana yang tidak gemas? Usia Mean tak lagi muda, astaga!

"Aku pikirkan nanti." Ujarnya. Masih dengan masa bodoh melahap makan malamnya yang entah bagaimana terasa hambar.

Ayahnya hanya diam. Menahan dongkol akan kelakuan putranya. Mean sangat gila kerja dan ayahnya hanya khawatir bahwa Mean akan benar-benar melajang sampai ia tua. Mengurus perusahaan sampai ia mati.

Kalau diingat lagi, sejak kapan anaknya yang dulu periang ini menjadi seperti sekarang?

Dean, adik dari Mean mencoba menengahi, "Kakak sudah dewasa, lagipula urusan ahli waris dan apalah itu bukan perkara yang besar juga, kalian tau, aku tak masalah untuk memaksa Dion sekolah bisnis agar bisa bantu kakak saat ia sudah remaja."

Dion adalah anak pertama Dean, berusia 6 tahun.

Ibunya menggeleng dengan geraman gemas, "Jangan membela abangmu!"

Mean memberi tatapan pada adik bungsunya, berusaha mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan percumah juga mendebat ibu mereka karna tidak tau kenapa ibu mereka sangat senang sekali menimbun mantu. Mean serius!

"Perusahaan baik-baik saja dibawah kendaliku, dan sampai kapanpun aku tidak sudi dijodohkan. Semua baik-baik saja," Mean berujar, "Baik soal perusahaan, aku, dan apapun itu yang menyangkut kehidupanku, jadi apa masalahnya? Biarpun aku menikah dan punya anak kalau memang perusahaan sudah waktunya bangkrut ya bangkrut saja."

"Mean!" dan ibunya kembali dibuat naik pitam.

"Bu!" Balasan, pelan namun tegas, "Aku sudah turuti kemauan Ibu sejak 10 tahun yang lalu, tolong sekali ini saja biarkan aku yang mengurus hidupku sendiri."

Mean mendesah pelan, "Aku lelah, bu. Sungguh."

***

"Aduh, sudah berapa kali papa bilang? Sepatu kalau tidak dipakai diletakkin di rak," Baru sampai Bangkok belum genap lima jam yang lalu, Plan sudah kembali mengomel lantaran Aley yang masih saja lupa untuk meletakkan sepatu yang tidak ia pakai kembali kedalam rak. Dibiarkan asal-asalan didepan pintu apartment mereka sehingga Plan yang baru kembali dari berbelanja di supermarket dilantai dasar nyaris dibuat tersandung.

HOME | end'Where stories live. Discover now