lima

5.4K 441 72
                                    

4,3K words, awas bosen(':

_________________________________________

"Apa?" Plan bertanya pelan. Mean terus saja menatapnya tanpa berkedip. Dengan kedua pipi bersemburat merah muda. Mean-nya terlihat manis.

"Enggak." Lirih Mean menjawab. Ia meraih telapak tangan Plan yang duduk bersebrangan dengannya. Untuk digenggam.

Plan tertawa, lalu menggeleng. Ia kembali pada buku bacaan, untuk referensi tugas sejarah besok senin.

Mereka sedang belajar bersama di rumah Mean. Walau berakhir dengan Plan yang belajar, dan Mean yang hanya menyaksikan kekasih kecilnya itu belajar. Mean gemar sekali melihat wajah serius Plan.

Cantik, pikirnya.

Mean beranjak, mengambil tempat disamping Plan. Kemudian mendaratkan satu kecupan manis dipuncak bahu Plan. Ciuman itu tak berhenti, Mean menghujani bahu Plan dengan kecupan-kecupan kecil.

"Aku suka baumu." Kata Mean.

Plan tidak membalas dengan ukara, ia tertawa pelan.

"Mean," Panggilnya pelan.

Ciuman Mean semakin jauh, ia mencium lengan atas Plan, dan kemudian berpindah pada telinga, juga leher samping Plan. Itu geli sekali.

"Mean." Plan menoleh, dan tertegun.

Pandangan Mean berkabut sayup, membalas tatapannya.

"Apa?" Balas Mean. Suaranya serak, Plan gugup. Ditelannya saliva dengan kepayahan.

Plan kemudian menggeleng. Ia akan kembali lagi pada buku bacannya, mencoba abai dengan keberadaan Mean. Namun, dengan cepat Mean menahan dagunya.

"Kamu janji mau kasih itu pas hari ulang tahunku."

Semakin gugup, Plan diam sejenak.

"S—sekarang?" Balas Plan pelan sekali.

Mean hanya menatapnya. Membuat Plan kembali salah tingkah.

Plan mengusap rahang Mean pelan, sebelum ia kemudian menempelkan belahan ranum bibirnya dengan bibir Mean.

Mean tidak berkedip, melihat Plan melucuti pakaian yang ia kenakan satu persatu.

Malam yang panjang di tiga belas tahun lalu.

***

Manusia tidak berubah. Keadaan yang berubah. Waktu yang berjalan memapas sebuah kejadian. Kata orang biarkan waktu yang menyembuhkan walau kenyataannya, Mean masih saja bertahan dengan luka di tiga belas tahun lalu. Jaman berubah, waktu yang membawa Mean sampai pada tahap ini, meninggalkan kenangan di masa lampau, namun Plan bertahan. Hatinya masih penuh dengan semua rentetan memori tentang Plan. Hanya tubuhnya yang tinggal disini, hati, jiwa dan raga mungkin masih dibawa oleh Plan terbelenggu dan tinggal didalam massa tiga belas tahun lalu.

Mean terheran, mengapa sulit sekali melupakan Plan, bahkan dengan waktu tiga belas tahun. Plan hanya pria lugu biasa. Pikirnya.

Hatinya nyeri. Ia tidak merespon sahutan suara dari seberang telepon, pun mematikan sambungan dan berlari menjauh. Mean diam dengan hati yang sesak, perasaan yang koyak, dan tubuh yang beku. Kedua bola matanya memanas, satu kedipan, air mata itu akan luruh. Oksigen begitu melimpah ruah walau disana Mean nyaris mati mengais udara. Ia menyadari kehadiran Title yang Nampak terkejut dengan kondisinya, ia mampu mendengar suara Gun yang lantang sekali mengkhawatirkan dirinya. Mean dapat menyadari bahwa panggilan itu tak lagi tehubung bersamaan dengan ponsel miliknya yang gugur di atas lantai.

HOME | end'Where stories live. Discover now