delapan

5.1K 376 66
                                    

Mean tidak pernah merasa se-gugup ini. Ia merasakan tangannya berkeringat. Juga dadanya yang seolah tak bisa diam. Dihadapan-nya sudah ada sang ibunda, tengah merajut—ibunda-nya memang sangat hobby sekali membuat buah tangan dari beragam benang-benang tebal itu.

Mean bermaksud untuk memberitahukan pada ibu-nya mengenai Plan dan Aleysia, putrinya. Mean berpikir bahwa pihak keluarganya harus segera mengetahui hal ini. Dimulai dari sang ibu, Mean sudah memikirkan ini dari beberapa hari lalu, sekembalinya ia dari taman safari bersama Plan, dan putrinya. Mean harus bertanggung jawab, dan juga memperbaiki beberapa hal. Fakta bahwa ia sudah memiliki seorang anak tiga belas tahun lalu, tidak bisa dibantahkan. Apapun reaksi yang akan ibu-nya berikan, Mean sudah berjanji untuk melindungi keluarga kecilnya, Mean sudah bertekad.

"Tumben sekali, Mean. Menemui ibu pagi-pagi begini?" Ujar ibu-nya, masih dengan merajut entahlah apa.

Mean menugak ludah, menata perasaannya.

"Mean ingin jujur." Jawabnya.

Sang ibu seketika berhenti merajut, sedikit bergetar membalas tatap putra pertamanya.

"Mean sudah bertemu dengan Plan, bu."

Ibu-nya tak banyak bereaksi, hanya diam dengan tangan yang tak lagi tengah merajut. Nyonya Phiravich membenarkan letak kacamata, menelan ludah yang bak bongkahan batu tebing.

"Bagus kalau begitu, hm?"

Mean mengangguk, "Tiga belas tahun lalu, Plan—" Mean berhenti, menatap rupa sang ibu, ia kembali menelan ludah, tenggorokkannya mendadak terasa sangat kering, "Plan—melahirkan seorang putri. Darah daging Mean."

"A—Aku tau itu konyol. Maksudku—Plan pria." Mean menatap ubin, tergagap, "Tapi hal itu benar. Plan melahirkan putriku tiga belas tahun lalu. Aku bisa mendatangkan dokter yang menangani Plan jika Ibu tidak percaya."

Menunduk, tak berani menatap bagaimana ibu-nya tengah memandang kearahnya. Mean merasakan tenggorokkan-nya begitu tercekat, sangat sakit. Dada yang tiba-tiba saja berdenyut nyeri. Mean terhenyak ketika ibu-nya mendekat, memeluk tubuh besarnya.

Mengusap punggung putra-nya pelan.

"Ayahmu tau?"

Mean menggeleng. Belum saatnya.

Nyonya Phiravich tersenyum di sela-sela pelukkannya, "Ajaklah putrimu kemari, Ibu ingin lihat rupa cucu ibu."

Bebannya belum terangkat. Mean sedikit terkejut dengan reaksi ibu-nya. Ia hanya tak menyangka, namun, Mean belum bisa bernafas lega. Ibu-nya sangat sulit ditebak, berbeda dengan sang ayah. Mean tidak tau bagaimana perasaan ibu yang sesungguhnya.

"Ibu—tidak marah?"

Ibu-nya terkekeh pelan, melepaskan pelukkan dan menatap putranya dalam.

"Kau tau, Mean? Kebahagianmu adalah yang terpenting untuk ibu." Beliau melanjutkan, "Ibu ingin memperbaiki keadaan, ibu kira dengan perjodohan akan membuatmu lupa. Ternyata tidak," Ibu-nya tersenyum, "Ibu tidak akan melarangmu. Ajaklah Plan dan cucu ibu kemari."

Mean tidak pernah menangis dihadapannya ibunya. Pagi itu, dengan tersedu, Mean berucap syukur, juga terimakasih kepada sang ibu. Satu sisi dari Mean yang membuat ibu-nya benar-benar berpikir bahwa ia harus melepas anaknya untuk Plan.

"Sudah. Kau sudah besar, bahkan anakmu sudah perawan. Malu melihat ayahnya menangis begini." Goda ibu-nya.

Mean terkekeh, menghapus air matanya.

"Ajak mereka kemari, Mean."

Mean mengangguk, tersenyum, dan memeluk ibu-nya.

"Pasti. Pasti, bu."

HOME | end'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang