Mau marah, tapi nggak mungkin. Gimana pun Nila tetap kadiv gue, dan apa pun perintah atasan harus dipatuhi 'kan? Dengan berat hati, gue mengangguk. 

"Ya udah lah, mau gimana." Duh, hari ini semesta nggak berpihak gue. 

Nila tersenyum, memeluk gue. "Thanks, Dear!" Setelah dia melepaskan pelukannya, dia berkata, "Besok lo ikut rapat ya sama Pak Bos." 

"Gue pengin jadi anak bawang selamanya aja, deh, kalau gini caranya." 

Nila tertawa.

**********

Sesua kata Nila. Esoknya, gue dan tim rapat bersama Pak Bos dan Pak Rajen. Oh iya, Pak Rajen ini orang perusahaan sebelah yang akan menggarap proyek ini bersama perusahaan kami. Sebatas itu, sih, yang gue tahu. 

Rapat berlangsung selama kurang lebih satu jam membahas proses awal. Begitu ditutup, gue segera menghampiri Nila. Rasanya bibir ini gatal pengin teriak mendengar keputusan sepihak dari Pak Rajen yang nggak bisa ditolak Pak Bos. 

"Gila! Ngapain, sih, Tim Desain disuruh nyamperin dia ke Wonosobo?!" Gue berbisik kesal di telinga Nila. 

Nila mengusap-usap punggung gue, menenangkan. Kayaknya, kalau ada nominasi karyawan terbanyak protes, pasti gue yang menang, deh. 

Pak Bos berjalan menghampiri kami. 

"Pak, masa kita harus nyamperin Pak Rajen ke Wonosobo, Pak?" tanya gue langsung kepada Pak Bos. 

Lelaki bertubuh gempal yang udah hapal tingkah laku gue itu, memijat kening, "Ya tidak apa-apa, lah. Kapan lagi kalian jalan-jalan gratis." 

"Bukan masalah gratisnya, Pak..." Gue memelas. 

"Army, tidak boleh mengeluh, ya. Harus tetap semangat!" Pak Bos mengepalkan tangan kanannya ke udara. Dia terkekeh sebentar sebelum akhirnya berlalu. 

"Nil..." 

Nila mengusap-usap lengan gue.

"Mau teriak boleh nggak?" 

"Ayuk, teriak di lapangan aja, yuk." Kadiv gue yang paling baik hati itupun menggiring gue keluar kantor. 

**********

Dengan hati yang gondok banget, gue dan tim berangkat ke Wonosobo untuk mengikuti rapat perancangan sistem antar muka dengan tim Pak Rajen. 

Hamparan lereng perbukitan yang hijau sedikit mengobati kekesalan gue. Barisan gunung yang gagah memanjakan mata yang selama ini melihat sebatas layar PC dan gedung tinggi. Semoga, perjalanan kali ini nggak begitu buruk. 

Setelah perjalanan yang entah berapa jam dari stasiun, kami tiba di sebuah rumah bertingkat dua, letaknya di pinggir jalan raya. Dari luar tampak seperti rumah biasa dengan dua buah tiang tinggi penyangga di terasnya, namun bagian dalamnya ternyata dipadati meja panjang dan komputer. 

Kami, yang masih menggembol ransel berisi persediaan baju tiga hari dua malam, dipersilakan menunggu di sebuah ruangan--yang sepertinya ruang rapat. 

"Kok kita nggak ke hotel dulu, sih?" bisik gue ke Nila yang duduk di sebelah gue. 

"Pak Rajen mau ketemu sekarang," jawabnya. 

"Lo tahu nggak, timnya Pak Rajen ganteng-ganteng katanya," sambung Valerie pelan ke gue dan Nila. 

Gue nyaris menjitak kepala Valerie. Sayanganya Pak Rajen lebih dulu masuk ke ruangan dengan senyum khasnya yang mengembang. 

"Selamat datang semua!" sapanya semangat di depan kami. "Gimana perjalanan dari Jakarta? Lancar?"

"Lancar, Pak." 

Dia menggulung kemejanya hingga sesiku, sembari mengoceh, "Maaf, ya, saya langsung minta kalian ke sini. Soalnya saya ada urusan lagi di luar kota, takutnya malah saya nggak sempat menyambut kedatangan kalian." 

Valerie berbisik lagi ke gue, "Eh, My, kalau Pak Rajen duda, lo mau nggak?" 

"Udah sinting, lo!" balas gue. Kayaknya isi kepala Valerie hanyalah pria-pria tampan dan mapan.

"Gue, sih, mau banget. Gue doain dia cepat cerai aja apa, ya?" Valerie mesam-mesem memandangi Pak Rajen. 

Gue mencubit lengan Valerie, supaya sadar dan nggak semakin gila. Gue ngeri kalau sampai penyakit gilanya nular ke gue. 

Pak Rajen bercuap-cuap panjang yang intinya kami akan diperkenalkan dengan timnya. Agenda hari ini hanya saling berkenalan dengan anggota tim lain yang nanti akan bekerja sama. Setelah itu, beliau izin pamit digantikan oleh timnya yang datang menyambut kami. 

Gue, Valerie, dan Nila alias tim UX berkenalan dengan tiga orang tim UX dari pihak Pak Rajen. Namanya Rifki, Ali, dan Ben. Pas. Kami berenam yang akan merancang maket antar muka sistem. Atas saran Ali, kami pun berpindah dari ruang rapat menuju ke outdoor

Hawa dingin terasa menusuk kulit begitu gue sadar kabut mulai turun. Gue menyesap teh hangat yang baru saja dibawakan oleh Ali.

"Eh, gue panggil tim sebelah buat gabung di sini aja, ya? Ngobrol di luar lebih asik kayaknya," usul Ali. 

Semua mengangguk sepakat. Kami duduk di gazebo kayu di samping kolam bambu yang menghadap langsung ke pegunungan. 

"Itu puncak Dieng?" tanya gue kepada siapa pun yang mendengar. 

"Betul. Sekunir, negeri di atas awan," jawab Rifki.  

"Wah!" Nila dan Valerie berseru kompak. 

"Kalian belum pernah ke sana?" tanya Ben. 

Kami bertiga menggeleng. Kedua lelaki itu tertawa, "Kalian harus coba lihat sunrise-nya. Kalau beruntung, ikut Dieng Culture Festival nggak pernah mengecewakan," sambung Rifki.  

"Kalian pernah ke sana?" Nila bersuara. 

"Gue udah dua kali malah. Yang pertama sendiri, yang ke dua bareng istri gue." Ben terdengar bangga. 

"Loh, lo udah punya istri?" Valerie tampak terkejut. 

Ben tersenyum, mengangguk. 

"Kalau lo juga udah menikah, Rif?" Valerieyang kepo, beralih ke Rifki. 

Gue menyikur perutnya, melotot, memberinya isyarat untuk diam. 

"Alhamdulillah, sold out." Rifqi ikut mengangguk. 

"Wah! Gue kira kalian masih pada jomblo!" Valerie terdengar kecewa. 

Gue dan Nila menabok paha anak itu. Sumpah, ya, gue nggak paham mulut Valerie itu terbuat dari apa.

"Abis mukanya masih muda-muda." Valirie sungut-sungut. 

Rombongan Tim Interface datang. Ali berjalan lebih dulu memandu mereka. 

Gue menyipitkan mata, memfokuskan pandangan pada sosok lelaki yang rambutnya dikuncir satu. 

Apa gue salah lihat?

"Kenalin, guys, ini Tim Interface dari pihak kami," ucap Ali. 

Begitu mereka sampai, jantung gue berdetak cepat. Nggak, gue pasti salah lihat. 

"Nila, ini Bima, ketua Tim Interface. Tadi dia telat. Bima, ini Nila, ketua Tim UX." Ali memperkenalkan Nila ke  Bima dan sebaliknya. 

Bima...

Pikiran gue seketika berpacu cepat tanpa tahu apa yang harus diingatnya. Entah berapa lama gue bengong, saking bingungnya, Valerie harus menyikut gue agar sadar, karena lelaki itu telah mengulurkan tangannya lebih dulu di hadapan gue.

"Bima Prabumi," katanya memperkenalkan diri.

Dengan tangan yang bergetar, gue berusaha membalas uluran tangannya. "Army Al Fatih." 

Kami berjabat tangan dan saling melempar senyum.

------------SELESAI------------


ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang