Pahit

65.7K 2.7K 99
                                    

"Aku ingin cerai!" Suasana mendadak sunyi saat aku berhasil mengutarakan kalimat barusan.

Kata-kata yang setengah mati ku tahan sejak beberapa minggu yang lalu. Kata-kata yang seharusnya tidak keluar dari mulutku untuk hubungan yang baru seumur jagung ini!

Laki-laki yang baru saja meminta haknya dengan memaksa itu, mendadak diam seribu bahasa.

Tidak ada respon hingga menit ke lima. Bahkan dia hanya menyugar rambutnya kasar, lalu mengangguk sebagai jawaban.

"Aku kabulkan!" Ucapnya dingin.

Air mataku luruh, menikah hanya sekali dalam kamus hidupku sejak dulu. Perceraian haram hukumnya bagiku. Tapi sekarang berubah! 

Rasanya sakit sekali, menimbang keputusan ini bukan sehari dua hari. Tapi menjalani rumah tangga yang semakin hari semakin tidak sehat, membuatku perlahan-lahan hancur sendiri.

"Dengan satu syarat," Ucapannya menggantung. Aku sempat terperanjat, aku yakin ini syarat yang cukup berat. Mengingat dia punya sifat nekat dan berkuasa.

Tanpa sadar tubuhku mendadak bergetar. Aku ingin mengurungkan niat bercerai jika dia meminta syarat yang bisa membahayakan keluargaku.

"Setelah tidak lagi denganku, suatu hari nanti. Jika kamu menemukan laki-laki lain yang akan menjadi pendampingmu. Dia harus lebih baik, lebih lembut, lebih bijak dan lebih menjaga kamu dibanding aku."

Pesan terakhir itu terekam jelas di memori otakku. Seakan berputar-putar sembari mengejek tanpa bisa ku lawan.

Kurang lebih delapan tahun silam. Saat umurku masih dua puluh tahun. Aku memutuskan menikah, ketika papa tidak mampu lagi membiayai kuliahku.

Bagas Cipto Hanggoro, laki-laki yang kala itu memasuki usia dua puluh tiga tahun, berani melamarku di hadapan papa.

Kami memutuskan menikah setelah hampir satu tahun berpacaran. Dia baik, penyayang dan sabar. Tapi semua berubah ketika kita memasuki usia pernikahan yang baru berumur tiga bulan.

Saat itu, sang ayah pergi untuk selama-lamanya. Bagas adalah laki-laki satu-satunya di keluarga. Sehingga dia yang ditunjuk untuk menjadi penerus bisnis. Bisnis yang sudah turun temurun itu jauh dari kondisi baik, mungkin itulah yang membuat bagas selalu sibuk. Bukan, bukan soal itu yang aku permasalahkan sehingga meminta cerai. Tapi semakin hari, bisnis keluarga itu semakin mengalami kemunduran.

Bagas sering pulang dalam kondisi mabuk setiap kali kalah tender. Dia mengamuk setiap saat, dan aku semakin tidak tahan ketika dia sering lepas kendali dan melakukan Kekerasan.

Bayangan tentang indahnya berumah tangga pupus saat itu juga. Sejak saat itu, status ku berubah menjadi 'Janda'.

Setelah bercerai, aku pergi ke Malang dan menekuni salah satu pekerjaan di perusahaan milik sahabatku. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala hal yang terlanjur terjadi. Kita sudah tidak pernah menjalin komunikasi, bahkan dengan keluarganya sekalipun.

Aku menarik nafas berat setelah lama menangis meratapi nasib yang tidak ada bedanya dari masa kelam itu.

"Aku beri kamu kesempatan sampai besok sore! Kemasi barang-barangmu dan pulang ke rumah papamu. Aku talak kamu malam ini juga!" Ucapan yang terlontar pelan tapi sungguh menyayat-nyayat hati.

"Kita tidak seharusnya begini." Ujarku frustasi.

"Aku muak! Hidup denganmu hanya membuatku merasa bosan setiap hari. Status pernikahan ini membatasiku untuk mengenal perempuan-perempuan yang lebih baik dari kamu di luar sana!" Bentaknya.

Bukan Salah Karma [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang