Enam; Tidak Lagi Sama.

Start from the beginning
                                    

"Ra, itu Kak Regi, kan?"

Telunjuk Rea mengarah ke sisi lain lapangan, di mana seorang cowok berjalan sendirian. Ia tidak mengenakan seragam. Celana cargo hitam juga kaus polo abu-abu yang ia kenakan membuat sosok itu terlihat begitu tegap.

"Ngapain dia ke sini?" tanya Rea kemudian.

Tera tidak peduli. Tidak mau peduli. Sayangnya cowok itu sepertinya tidak berpikir sama. Regi menatapnya, dan tanpa ragu menghampirinya. 

Dan Tera juga tidak pernah tahu bahwa saat itu seseorang di tengah lapangan juga melihatnya.

***

Tera menarik napas dalam, lalu menatap Regi. "Ngapain lo ke sini?"

"Lo masih marah?"

Nada suara cowok itu masih tenang. Tatapnya teduh, tak menyudutkan. Namun emosi Tera selalu datang lebih besar lebih dari seharusnya. Jadi gadis itu hanya diam, menghela napas beberapa kali, berharap untuk bisa segera pulang.

"Maaf."

Tatap keduanya bertemu dan Tera menemukan ketulusan di sana. Namun Tera memilih bungkam. Ia takut kalimatnya berubah menjadi belati yang tajam.

"Gue nggak tau kalau lo masih sakit–"

"Nggak," potong gadis itu cepat. "Gue minta lo inget kalau lo pernah nyakitin gue, bukan berarti gue masih sakit."

Tera tidak lagi merasakannya, karena sakit itu tak ada apa-apanya dibanding apa yang keluarganya beri.

Mendengar jawaban Tera, Regi tersenyum. Ia melipat tangannya di atas meja. "Seneng denger lo udah baik-baik aja."

Diam-diam tangan Tera mengepal. Ia menahan segala letupan-letupan mengganggu yang muncul di dadanya. Tatapan Regi masih seteduh sore saat mereka memutuskan untuk tak lagi menggunakan kata saling.

Tidak pernah berubah. Dan meski Tera tak pernah mengatakannya, Regi pasti tau kalau Tera membencinya.

Tera tersenyum, berharap Regi bisa menangkap sisa-sisa kecewa di dalam matanya. Namun cowok itu memilih diam.

Pesanan keduanya datang. Satu jus strawberry tanpa susu dan satu air mineral.

"Strawberry, kesukaan lo."

Ada rasa getir yang mengusik Tera. Kenyataan bahwa Regi benar-benar masih sama membuatnya terluka. Bagaimana bisa hilangnya Tera seolah tidak berakibat apa-apa? Dan kenapa hubungan keluarga keduanya harus membuat Tera harus terikat dengan seseorang yang menyakitinya?

"Tera, gue beneran minta maaf. Gue nggak mau hubungan kita yang udah mulai membaik ini jadi rusak lagi."

Bagus. Dia memang harus minta maaf. Setelah dia pergi dan membiarkan Tera sendiri, seharusnya cowok itu benar-benar tidak usah kembali. Dan seharusnya dia tau kalau tidak ada yang membaik di antara mereka. Hubungan mereka sekadar jika Tera membutuhkannya.

Tidak lebih.

"Lo ngapain di sini? Cuma buat minta maaf?"

"Iya. Lo keberatan?"

Tidak. Sejujurnya, Tera senang karena dengan begitu, ia merasa ada.

Forget MeWhere stories live. Discover now