Bagian 6

1.9K 188 9
                                    

"SAF, lo belum selesai juga?" tanyaku sambil menggeliat. "Gue udah kebelet banget nih."

Safenly melirikku sekilas. "Al, lo kan tau Bu Marsijah gimana. Kalo ini tugas bukan dari dia, udah daritadi gue anterin lo."

"Yaudah sih lo liat punya gue aja. Gatahan nih."

"Lo tadi nggak denger kata Bu Marsijah apaan? Jawabannya nggak boleh sama. Lo minta anter Hana aja tuh." Safenly menunjuk perempuan yang duduk di depan kami dengan dagunya.

Aku menepuk bahu Hana dan langsung ditepis. Dia juga belum selesai mengerjakan tugas dari Bu Marsijah—salah satu guru terkiller di sekolahku. Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya aku pergi ke toilet sendiri.

"Alaskaaa.."

Ketika keluar kelas, Samudra tengah duduk di depan kelasnya. Ingat, kelas Samudera bersebelahan dengan kelasku. Jadi tidak aneh kalau aku langsung bertemu dengannya saat keluar dari kelasku. Aku hanya tersenyum karena menahan panggilan alam yang kian mendesak.

Huh. Aku menarik napas lega setelah keluar dari toilet. Sekarang perutku lapar tapi masih ada satu pelajaran lagi sebelum bel istirahat berbunyi. Lagipula, aku tidak akan mungkin makan tanpa teman-temanku.

Langkahku terhenti ketika kulihat di depan kelas Samudra dipenuhi banyak laki-laki. Mereka berteriak tidak jelas. Ada apa? Lalu dari seberang lapangan, para guru berdatangan. Mereka mencoba membubarkan kerumunan itu dan menarik siapa saja yang menyebabkan kegaduhan pagi ini.

Aku bersandar ke tembok guna memberi jalan Pak Dayat yang menyeret beberapa siswa ke Ruang BK. Total 5 orang, termasuk Samudra. Dia berjalan di belakang Pak Dayat. Dan ketika melihatku, dia tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa.

"Alaska," Samudra berhenti di hadapanku. "Nanti pulang bareng Samudra ya?"

"Ngg—"

"Samudera!" Pak Dayat menyadari bahwa satu muridnya kabur untuk menemuiku. Beliau menghampiri kami dan langsung menjewer kuping Samudra. "Cepat jalan!"

"Sakit bapaaak.."

"Cepat!"

Sebelum melangkah mengikuti Pak Dayat, Samudra mengedipkan satu matanya padaku. Setelah melihatnya masuk ke dalam ruang BK, aku kembali ke kelas dengan tenang.

Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu dan ketika makan di kantin, Safenly menceritakan semuanya. Jadi, Samudra dan kedua temannya menojok dua siswa dari angkatanku. Aku tidak tahu alasannya, pun Safenly. Dia hanya tau kalau dua siswa seangkatanku itu memang bermasalah. Tapi beberapa tahun setelahnya, Samudera menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Yang tidak banyak orang di sekolahku tau. Nanti akan kuceritakan.

Setelah kejadian pagi itu, aku tidak melihat Samudera lagi. Tapi ketika kembali dari kantin aku melihat dua siswa korban kekerasan Samudra dan temannya. Wajahnya sedikit babak belur, tidak parah. Samudra sempat menelfonku dijam istirahat kedua siang itu, tapi ketika kuangkat, telfonnya mati.

Malam harinya Samudra menelfonku. Sudah hampir larut, pukul 11 malam. Aku tidak menanyakan kejadian tadi pagi, dia juga sepertinya enggan menceritakan.

"Al, kalo ada yang nyakitin hati Alaska. Bilang ke Samudra yaa."

"Maksudnya?"

"Bilang ke Samudra kalo ada yang nyakitin Alaska, atau ganggu Alaska."

Aku mengernyit. "Emangnya kenapa?"

"Gapapa," katanya. "Tidur sana, udah malem."

"Iya."

"Oke."

Telfon dimatikan, aku lanjut membaca pesan yang belum kubuka di whatsapp. Salah satunya dari Fikar, dia bertanya apakah aku sudah tidur atau belum. Kuabaikan, besok saja aku balasnya, akan aku bilang bahwa semalam aku sudah tidur. Dan tak lama, aku terlelap.[]

Kakak KelasWhere stories live. Discover now