<05. Piza>

59.4K 5.9K 1.2K
                                    

Percikan pertengkaran mulai berkobar. Aku dengan egoku, kamu dengan sikap dinginmu. -@ratih.audiaa

Sehari, dua hari. Seminggu atau dua minggu masih biasa aja. Masih bisa makan enak sesaui sama yang aku mau, tapi memasuki minggu keempat- sekitar satu bulan umur pernikahan kita, mulailah terjadi perbincangan ini.

"Rat, kita harus hemat."

"Tapi, aku mau piza."

Ya, gimana yah. Namanya juga orang lagi pengin, apalagi aku sekarang lagi hamil lho. H-A-M-I-L! Bisa aja yang minta makan piza ini anak kita 'kan. Aku nggak mau, ya, anak kita nanti jadi ileran. Ih.

"Besok, ya."

"Maunya sekarang," aku merengek seperti bayi. "Sekarang, Den. Sekarang."

"Astaga," dia mendengkus, mendongakkan kepalanya. "Gue belum dapet kerjaan, Rat. Kita harus hemat dulu."

"Kamu pelit banget, sih!"

Jadi, begini kehidupan rumah tangga pada umumnya. Aku baru tahu rasanya. Serba kekurangan. Tiap harinya aku hanya mendekam di sebuah indekos sempit di daerah kumuh. Tidak ada AC. Rambutku jadi cepat lepek karena terlalu sering berkeringat. Aku nggak lagi pake skinker karena buat makan aja susah. Aku jarang make up. Baju yang aku pake seadanya. Bahkan, itu-itu aja.

Namun kalau urusan makanan, plis lah aku tidak bisa tahan. Nafsu makanku tinggi. Dari dulu. Sebelum aku hamil, aku memang doyan makan. Untungnya, Dewi Fortuna baik padaku. Tubuhku tidak melebar. Berat badanku ideal, meskipun makanku banyak. Sungguh itu sebuah keberuntangan.

"Bukan pelit," tegasnya, menatapku dengan tatapan sengitnya. Aku balas menatap Raden tak kalah tajam. Seakan tidak takut. "Kita emang beneran harus hidup hemat, Rat."

"Aku laper," kataku memberitahunya.

"Kan, baru aja makan nasi goreng."

"Laper lagi, Raden!" nada bicaraku meninggi. "Kamu lupa aku lagi hamil, hm? Aku tuh sekarang lagi berbadan dua tauk. Kamu tega banget biarin aku kelaparan."

Entah kenapa aku ingin menangis sekarang hanya karena aku mau makan piza, tapi Raden tidak punya uang untuk membeli makanan itu.

Aku jadi flesbek kehidupan hedonku sebelum menikah dengan Raden. Hampir setiap hari aku beli minuman di setarbak. Sepulang les mampir ke kaepci. Malamnya sambil belajar ngemil piza. Aku rindu saat-saat itu.

Saat tidur di kasur empukku. Saat ada di kamarku yang berAC. Saat bisa bebas menonton tayangan televisi. Di sini? Tidak ada hiburan apa-apa. Benar-benar miskin.

"Gue beliin nasi goreng lagi," ujarnya sambil meraih jaket.

"Nggak," tolakku sinis. "Aku nggak mau makan nasi goreng lagi."

"Barusan lo bilang, lo laper. Gimana, sih, Rat?" kekesalan Raden mulai tidak bisa dibendung lagi. "Jangan kekanak-kanakkan gini deh."

"Aku laper," ulangku lagi sambil menatap matanya begitu dalam. "Tapi, cuma pengin makan piza. Nggak mau yang lain."

"Kalau emang lo laper, makan seadanya pun bakal tetep bisa masuk ke dalam perut lo."

Dia bersikeras membelikanku nasi goreng, lagi. Rasanya hambar. Biasa aja. Tidak enak di lidah. Aku tidak suka. Aku memang jarang makan nasi goreng. Apalagi, makanan itu dibeli di pinggir jalan. Bukan di restoran-restoran mewah- tempat biasa yang aku datangi. Ah, menyebalkan.

"Tunggu, sini. Gue beliin."

Raden, nggak usah.

Aku tidak berani berucap lagi. Aku tidak berani menghalau kepergiannya. Aku membiarkan Raden keluar rumah, membelikanku nasi goreng. Aku menatap punggung tegapnya yang menjauh.

RadenRatihحيث تعيش القصص. اكتشف الآن