Bagian Delapan belas - Memulai

118 5 0
                                    

Najwa membuang napas pelan. Hari ini Najwa kembali mengajar, ia sangat rindu dengan anak-anak didiknya. Selamat pagi, Najwa membatin. Ia langsung beranjak dan mempersiapkan dirinya. Mulai merias diri, mengusapkan blush on warna orange serta liptin berwarna pink muda. Nampak lebih fresh dari biasanya.

Najwa pun ikut bergabung dengan kedua orang tuanya untuk sarapan. Tidak ada percakapan apa pun, hanya goresan senyuman yang membuat suasana lebih hangat.

“Najwa berangkat dulu, Assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam, hati-hati, Nak.”

Tidak ada yang harus disesali, Najwa yakin semua ini telah menjadi rencana-Nya. Tentunya Najwa pun harus berani untuk melewati. Biarlah kisah cinta itu kandas dengan pengkhianatan, mungkin saja Allah telah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik.

Aku harus ikhlas, batinnya.

Perjalanan pagi memang menyenangkan, apalagi udara hari ini lebih dingin. Oksigen yang terhirup membuat pikirannya tenang, untuk dua puluh menit perjalanan pun tidak terasa. Najwa langsung memarkirkan motornya, dan beberapa siswa mulai menyapa.

“Pagi, Bu.”

“Pagi kembali.” Najwa kembali melanjutkan perjalanannya, semoga tidak ada pertanyaan-pertanyaan aneh yang datang.

“Bu Najwa, sudah sehat?” beberapa guru bergantian menanyakan kabarnya. Najwa hanya mengangguk, tak lupa bacaan hamdalah pun keluar sebagai jawaban. Untungnya mereka sudah paham, Najwa bukan guru yang terbuka, hanya ke orang-orang tertentu saja ia bisa bercerita.

“Hari ini masuk ke kelas sebelas IPS, ya, Bu.”

“Iya, saya permisi duluan.” Najwa sedikit menghindar dari mereka. Lebih tepatnya dari pertanyaan yang kapan pun akan menyerangnya. Dan mungkin mereka sudah mengetahui kisah pernikahan Najwa yang berujung kandas. Ah, bukan hanya kandas, tetapi remuk dan tidak bisa dipasangkan kembali.

***

Shopia masih tidak bisa diam. Untuk kali pertamanya ia merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya, setelah melewati perdebatan dengan Jaka. Iya, benar kata Jaka, Shopia egois dan tidak tahu diri karena melimpahkan semua kesalahannya pada Azka yang jelas menjadi korban.

“Pah, lalu apa yang harus aku lakukan?” Shopia sedikit terisak, ia terlalu takut dibenci oleh Najwa atau pun Azka.

“Jalan terbaik, ya, Mamah harus meminta maaf.”

“Apa mereka akan memaafkan aku?” Jaka mengangkat bahunya. Ia pun tidak tahu, bagaimana reaksi keduanya saat mengetahui bahwa Shopia dalang dari pernikahan tersebut, terlebih Najwa yang sangat ia sayangi.

Namun Jaka sedikit lega, ketika Shopia kalah dalam perdebatan malah itu, ia sadar apa yang menjadi kesalahan terbesarnya. Ketika kata maaf terlontar, ketika itu pula egonya mulai meluntur secara perlahan. Apa pun yang akan terjadi baik Shopia ataupun Jaka, mereka harus mengikhlaskannya.

Tepat hari ini, Shopia memberanikan diri untuk mengunjungi rumah Najwa dengan ribuan kata maaf yang ingin ia lontarkan. Detup jantungnya pun kian mencepat, ada banyak rasa was was yang kian bergantian.

“Jangan tegang, Mah.” Jaka berusaha menenangkan. Akhirnya mereka pun sampai, beberapa kali bel rumah dibunyikan tetapi tidak ada ciri-ciri orang yang ke luar. Apa tidak ada pintu maaf lagi untuk Shopia? Apa kebenciannya sudah sangat mendarah daging? Kini semua pikiran itu berkeliaran.

“Tunggu aja dulu.”

Shopia terus menghubungi Dini, tetapi tidak diangkat. Sebenarnya ke mana mereka?

“Tidak diangkat,” keluh Shopia yang mulai frustrasi. Tidak ada jawaban apa pun dari suaminya tersebut. Biasanya mereka jam siang sedang di rumah menjaga Najwa. Apa terjadi sesuatu pada Najwa? Tetapi dokter Haris tidak menceritakan tentang apa pun. Malah, katanya kondisi Najwa membaik dan sedang pemulihan. Jaka tak kalah frustrasi.

Dari kejauhan terlihat Dini yang turun dari ojol. Ia menenteng beberapa keresek belanjaan. Shopia bernapas lega, ternyata di rumah tidak ada siapa-siapa. Shopia langsung beranjak dari tempat duduknya, ia menyusul Dini yang hendak berjalan menuju rumahnya.

“Mbak Shopia? Sudah lama?” Dini yang terkejut dengan keberadaan mereka. Jujur saja, Dini masih menyimpan kebencian pada mereka, tetapi ia harus pintar bersikap jangan sampai menyampaikan sikap buruknya.

“Ayo masuk,” ajak Dini. Mereka pun membuntutinya.

“Duh. Maaf, ya. Ponsel saja lupa gak dibawa. Ada perlu apa, ya, Mbak. Mas.” Shopia langsung memandang suami, tepatnya meminta bantuan untuk menjelaskan tujuan mereka datang.

“Najwa ada?” Jaka yang balik melemparkan pertanyaan.

“Najwa di sekolah, sebentar lagi pulang.”

“Alhamdulillah, Najwa sudah membaik.” Jaka yang langsung memegang erat jari-jari Shopia mentransferkan energi positif untuknya.

“Alhamdulillah.” Dini mulai tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Tidak ada lagi bahan pembicaraan lainnya. Lagi pula tidak ada yang penting untuk dibicarakan.

Shopia Kembali menegang dengan sikap Dini yang dingin. Tempo lalu saat lamaran, Dini ramah, apa pun akan ia ceritakan apalagi mengenai Najwa. Namun, tidak untuk sekarang, Dini lebih banyak diam dan menjawab jika dilontarkan pertanyaan. Lebih tepatnya menjaga jarak untuk berkomunikasi.

“Mbak. Saya minta maaf, dulu saya egois dan tidak berpikiran panjang.” Shopia yang masih menunduk, jika pun Dini mencaci Shopia ikhlas. Karena sudah sepatutnya Shopia mendapatkan perlakuan buruk atas apa yang ia lakukan.

“Saya pun bersalah. Bukan hanya Mbak saja, kami semua bersalah.” Keduanya saling memandang, tatapan yang sendu dan berkaca-kaca nampak gambaran kesalahan yang luar biasa. Harapan mereka Najwa bisa benar-benar memaafkannya.

Baik Dini ataupun Shopia, mereka sadar bahwa menjadi orang tua bukan hanya keegoisan yang mereka berikan. Namun, mereka pun harus bisa meraba hati anak-anaknya. Jika keputusan itu bukan yang terbaik maka tinggalkan, dan berikan pilihan lainnya untuk dipilih mereka.

Keduanya masih larut dalam isak tangis.

Tak lama, Najwa datang dengan menenteng tas dan beberapa perlengkapannya. Najwa pun sedikit terkejut dengan kedatangan Shopia dan Jaka. Sama halnya dengan mereka, Najwa canggung dan berdegup kencang. Keringat dingin dan amarah seakan bercampur.

Najwa harus pintar berekspresi. Paling tidak membuat mereka nyaman untuk berinteraksi dengan dirinya.

“Apa kabar, Mah, Pah?” Najwa langsung menyalami keduanya. Ia duduk tepat samping Dini dengan guratan senyum.

“Kami baik, Sayang. Kamu sendiri gimana?”

“Alhamdulillah, Najwa sehat.”

Najwa terus saja menunduk, ia ingin segera menyudahinya. Tiba-tiba Shopia memeluk erat, terdengar pula isak tangis. Najwa masih tidak mengerti, kenapa Shopia tiba-tiba menangis?

“Kenapa nangis, Mah?” Shopia terus menggeleng dan lebih mengeratkan pelukannya. Apa boleh buat Najwa pasrah, toh nanti jika sudah selesai akan terlepas dengan sendirinya.

“Mamah minta maaf, atas keegoisan Mamah. Mamah yang salah.” Lagi-lagi perihal itu yang dibicarakan. Bagaimana bisa Najwa mengikhlaskan jika bahasannya pada bayangan-bayangan luka.

“Tidak ada yang salah. Najwa juga tidak mau mempermasalahkan lagi. Najwa sudah ikhlas. Jadi, Najwa mohon kalian jangan terus bahas permasalahan itu,” jawabnya. Meskipun ada lubang kesakitan tetapi Najwa yakin, lubang tersebut akan tertutup dengan sendirinya. Dan bahkan akan berubah lebih baik.

“Makasih, Sayang.”

Entahlah. Najwa tidak ingin menambah seluruh masalahnya dengan pemikiran-pemikiran yang semakin membunuh diri sendiri. Lebih baik Najwa mulai memaafkan dan kembali menjalani hidup dengan keyakinan, bahwa akan ada kebahagiaan.

*

Yeay! Alhamdulillah semua part sudah diselesaikan.
Insya Allah nanti aku up untuk epilognya.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk membaca.
Semoga bermanfaat.

Bye
Teti Nurhayati

Liku Najwa (COMPLETE)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن