Bagian tujuh belas - Ikhlas

101 3 0
                                    

Salwa memutar dua kisah yang sama. Kisah Najwa yang menjadi korban egois dan juga kisah Rahma yang menjadi korban perasaan atas pengkhianatan. Keduanya memiliki cerita yang sama. Apa mungkin cerita mereka satu alur dan satu orang yang sama.

Salwa langsung stalking beberapa akun Rahma, mungkin saja Rahma pernah meng-upload dirinya dengan laki-laki yang diceritakan itu. Hasilnya nihil dari dua akun Rahma tidak ada satu pun foto laki-laki tersebut. Apa iya Salwa harus menanyakan untuk menjawab semua rasa penasarannya?

Ia terdiam cukup lama, hingga akhirnya memutuskan untuk menanyakan pada Rahma. Daripada terus berprasangka tidak baik, lebih baik mencari kebenaran sesuai faktanya. Beberapa pesan Salwa kirimkan sebagai basa-basi, hingga Salwa pun berhasil meminta foto laki-laki tersebut.

[Penasaran banget sama doi😂]

[ wkwk]

[Send picture]

Setelah gambar tersebut ter unduh. Salwa terkejut, ternyata benar Azka kembaran dari Akbar calon suami Najwa. Sungguh Salwa sangat merasa bersalah telah memberikan saran tersebut pada Rahma, saran yang membuat Najwa jatuh sakit.

Salwa kembali terisak, ia seperti peran antagonis yang mengadu domba kan kedua sahabatnya. Hingga mereka berdua yang menjadi korban. Apa yang harus dijelaskan Salwa pada mereka? Tangannya masih gemetar mengingat kata-kata yang diucapkannya pada Rahma tempo lalu.

Sahabat macam apa, aku, Salwa membatin. Tetapi ia pun harus berterus-terang bahwa dirinya ikut mencampuri permasalahan ini. Bagaimana pun Salwa harus ikut tanggung jawab, ia harus bisa mengembalikan semua keadaan.

Salwa kembali mengirim pesan pada Dini, ia ingin menceritakan semuanya. Menceritakan seluruh kesalahan yang telah ia perbuat.

[Assalamualaikum, Bun. Kita bisa ketemu, gak? Di warkop sekolah Najwa.]

[Boleh, jam berapa?]

[Sekarang, Bun.]

[Ada apa? Kok tumben? Gak ke rumah aja?]

[Penting, Bun.]

[Ya sudah. Bunda berangkat, tapi Bunda gak bisa  lama-lama. Takut Najwa perlu apa-apa.]

[Iya, Bun, Salwa berangkat.]

Salwa telah menyiapkan mentalnya. Apa pun yang menjadi jawaban dari Dini nanti, Salwa ikhlas. Dengan segera Salwa menuju tempat yang telah dijanjikannya. Yakin, semua akan baik-baik saja, Salwa, batinnya.

Warkop yang menjadi tempat favoritnya dengan Najwa kini terlihat penuh luka, luka sebuah pengkhianatan seorang sahabat, pikir Salwa. Salwa langsung masuk dan mencari tempat nyaman untuk membicarakan hal ini. Ia segera memesan dua gelas minuman dengan beberapa camilan tambahan.

Dini akhirnya datang. Ia duduk berseberangan dengannya. Salwa masih takut untuk memulai pembicaraan, sementara Dini terlihat menunggu kejelasan yang akan disampaikan olehnya.

“Ada apa, Nak?” Dini yang mengawali.

“Ini tentang pernikahan Najwa, Bun.” Dini sedikit kaget, lalu ia membenahi posisi duduknya dengan tatapan masih pada sumber informasi.

“Sebelumnya Salwa mau minta maaf sekali, jadi ...,” Ucapnya terhenti.

“Bicaralah tanpa rasa apa pun. Bunda akan mendengarkannya.”

“Jadi ... Sebenarnya, Azka itu kekasih dari teman Salwa, Bun. Jadi saat itu Rahma disuruh pulang ke Indonesia dan memutuskan kekasihnya, tetapi mereka saling mencintai, Rahma pun tahu kisah Azka dan istrinya yang menikah bukan atas dasar cinta. Dan bodohnya Salwa menyuruhnya untuk menegakkan kejujuran, Salwa nyuruh kekasihnya untuk memberitahu siapa dirinya.”

“Dari kejadian itu, semua permasalahan datang. Bun, Salwa beneran gak tahu awalnya kalau kekasih Rahma dan suami Najwa orang yang sama, maafin Salwa, Bun.” Salwa terisak, sementara Dini hanya tersenyum. Bagi Dini, Salwa tidak salah sama sekali, ia telah melakukan hal yang benar, hal yang harus diungkapkan sejak awal.

“Sudah. Ini sudah menjadi kehendak, bahkan Bunda mau ucapkan terima kasih. Coba saja kalau kamu tidak memberikan saran itu, Najwa akan semakin terluka. Dan tentunya Bunda pun gak tahu apa yang akan terjadi lagi. Jangan menyalakan diri sendiri, jika pun Najwa tahu, dia akan berterima kasih juga pada sahabatnya ini.”

“Padahal kesalahan terbesar itu dari kami, orang tuanya.” Tatapannya kosong, Dini seperti menerobos pada masa yang telah menjadikan alasan Najwa terluka.

***

Najwa masih terbaring lemah. Sesakit apa pun itu, Najwa harus berusaha bangkit. Bukankah Allah sangat membenci orang-orang yang putus asa? Najwa menggeleng, ia melihat dirinya yang tidak terurus ditambah volume tubuh yang menurun.

Satu tegukan air putih mengawali aktivitasnya. Najwa langsung membersihkan dirinya, ia harus bisa menyapa dunia yang sesungguhnya. Biarkan semua yang terjadi menjadi pelajaran yang memang harus diikhlaskan. Najwa yakin Allah maha pengampun bagi semua hamba-Nya.

Setelah semua dirasa selesai, Najwa kembali melakukan aktivitas seperti biasa masak dan mengurus rumah. Ia pun sudah beberapa hari absen dari mengajar. Tidak menghabiskan waktu yang lama Najwa selesai memasak dan menatanya di ruang makan. Rumah nampak sepi, Andi yang masih di sekolah dan Dini yang masih di luar.

Sudah lama tidak keluar rumah, Najwa membatin. Ia memutuskan untuk menikmati udara siang di teras rumah dengan segelas coklat dingin. Meskipun masih ada kekecewaan yang masih tergores, Najwa berusaha bersikap dewasa, ini bukan saatnya untuk mementingkan ego.

Siang ini tidak terlalu panas, udaranya bersahabat. Najwa bersyukur masih diberikan kesempatan untuk hidup, yang artinya harus dipergunakan sebaik-baiknya.

Senyumannya begitu mengembang melihat kedatangan Dini, Najwa menyambut dengan hangat. Begitu pun dengan Dini yang begitu bahagia melihat putrinya bisa kembali tersenyum dengan tampilan yang jauh lebih baik lagi.

“Hai, Bun. Najwa udah masakin sambal kentang, yuk makan,” ajaknya. Dini masih tidak percaya. Ia langsung memeluk erat putrinya.

“Terima kasih, Sayang.” Diam-diam Najwa pun meneteskan air matanya tetapi dengan cepat ia serka. Dimulai dari hari ini Najwa harus bisa menahan semua kelemahan yang ada pada dirinya.

Keduanya menikmati masakan yang telah disediakan. Dini akhirnya bisa bernapas lega, pagi ini seperti banyak sekali keajaiban yang datang. Setiap suapan mengalir cinta dari putrinya.

Najwa pun bersyukur, ia masih diberikan energi untuk tetap bangkit. Mulai dari sekarang Najwa yakin semua akan baik-baik saja.

“Oh, iya. Bunda tadi habis dari mana?”

“Ketemu sama Salwa.” Najwa menyeritkan keningnya. Tumben mereka bertemu di luar, biasanya juga Salwa sering ke rumahnya. Atau mungkin mereka tidak sengaja bertemu.

“Biar nanti Najwa saja yang bereskan, Bun.” Dini hanya tersenyum kecil.

“Terima kasih.” Kecupan singkat pun mendarat.

Benar saja, kebaikan akan datang pada siapa saja yang ingin menjadi baik. Begitu pun kebahagiaan akan datang bagi mereka yang menginginkan kebahagiaan itu sendiri. Dan sekarang Najwa merasakannya. Di rumah ini terdapat banyak energi positif yang mampu membangkitkan semangat hidupnya. Paling tidak ia bisa ikhlas.

Mas Akbar. Di mana pun kamu berada, aku selalu merindukannya. Najwa membatin. Ia yakin semakin Najwa berpikiran positif maka semakin banyak kebahagiaan yang menghampirinya.
Roda kehidupan akan selalu berputar sesuai apa yang dikehendaki-Nya.

Liku Najwa (COMPLETE)Where stories live. Discover now