Bagian enam belas - Akhir kisah

95 7 0
                                    

Rahma sibuk menyiapkan beberapa barangnya. Setelah bercekcok permasalahan tentang Azka dan Najwa tempo lalu, hari ini Rahma memutuskan untuk kembali ke Jerman tentunya dengan Azka. Rasa cinta yang mereka miliki lebih besar dari rasa kecewanya.

“Sudah yakin hari ini pulang ke Jerman?” Salwa yang ikut turun tangan membantu Rahma. Rahma hanya mengangguk.

“Semoga kalian tidak ada masalah lagi.”

“Aamiin.”

Tidak lama dari itu, Azka sudah datang menjemput. “Hati-hati, ya.” Salwa memeluk erat temannya.

“Makasih, ya, udah mau nampung aku.” Salwa hanya mengangguk dan tersenyum. Sayang dirinya tidak bisa ikut ke Bandara untuk mengantar temannya. Rahma dengan segera masuk ke mobil diakhiri dengan bunyi klakson. Salwa tidak sempat melihat laki-laki itu, laki-laki yang selalu Rahma ceritakan.

Hari ini Salwa akan mengunjungi Najwa. Semalam bundanya mengabari hal yang membuat Salwa terkejut, tentang pernikahan yang kandas. Salwa tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Najwa saat ini, semenjak menikah Najwa dan Salwa sudah hilang kabar dan tidak pernah bertemu lagi.

Setelah semua dirasa beres, Salwa langsung mengunjungi sahabatnya, berharap kedatangan Salwa bisa sedikitnya menghibur semua lukanya. Tidak memakan waktu lama Salwa bisa sampai juga.

Terlihat Dini yang sedang duduk di kursi tamu. Wajahnya tidak bisa menipu, ada banyak raut kesedihan meskipun sesekali Dini tersenyum menyambut Salwa.

“Bun, gimana Najwa?”

“Kamu langsung ke kamarnya, Nak. Bunda berharap kamu bisa sedikit menghiburnya.”

“Salwa izin ke kamarnya Najwa ya, Bun.” Dini hanya mengangguk.

Dengan penuh kehati-hatian Salwa menuju kamarnya. Salwa pun harus mempersiapkan mental dan emosinya, jangan sampai ia terbawa suasana. Paling tidak Salwa harus bisa berusaha tersenyum dan menyalurkan semangat padanya.

Najwa yang duduk di bibir kasur, tatapan kosong serta penampilan yang masih acak-acakan, membuat Salwa begitu perih. Ingin rasanya ia memeluk dan melihat semua keceriaannya.

“Assalamualaikum, Naj.” Salwa yang masih berdiri di luar pintu kamar. Najwa tidak menolehnya, ia hanya menjawab salam yang diucapkan Salwa.

“Waalaikumusalam, masuk.” Salwa tidak langsung ke topik pembicaraan inti, ia berusaha mencairkan suasana terlebih dahulu.

“Udah lama gak ketemu, apa kabar? Aku kangen banget, lho.” Najwa hanya tersenyum, sama sekali tidak ada jawaban apa pun darinya. Jujur saja Salwa sudah tidak kuat melihat sahabatnya terpuruk seperti ini. Salwa yang tanpa aba-aba langsung memeluk erat tubuh sahabatnya itu.

“Naj, aku mohon, kamu ikhlas, ya. Ada aku, Bunda, Ayah semua ada untuk kamu.” Salwa menumpahkan seluruh tangisannya,  Salwa paham seharusnya Salwa tidak boleh memancing kesedihan dengan mengulang kata itu, tetapi siapa yang kuat melihat sahabatnya terpuruk seperti ini.

“Sal, aku ingin ketemu Mas Akbar,” jawab Najwa.

“Bentar, aku gak tahu permasalahan kalian. Sebenarnya ada apa?” Salwa membenarkan posisi duduknya. Najwa yang terlihat meraba-raba, ia seperti berusaha mengingat apa saja yang telah terjadi selama ini.

“Jadi ...,” ucapnya terputus.

“Ya?”

“Aku menikah bukan dengan Mas Akbar. Aku menikah dengan Mas Azka saudara kembarnya, dan Mas Akbar sudah meninggal, Sal,” jelas Najwa masih terisak. Salwa dibuat terkejut, kenapa ada pernikahan seperti ini? Kenapa mereka mendukung pernikahan atas dasar kepalsuan. Bukankah syarat utama menikah ialah saling keterbukaan? Salwa semakin ikut terisak.

Salwa terdiam. Kisahnya terdengar tidak asing, mirip cerita yang sempat dibicarakan Rahma atas kekasihnya. Apa mungkin yang dimaksud Rahma adalah kisah Azka dan Najwa? Lalu? Apa saran dari Salwa dipergunakan Rahma untuk memaksa kebenaran tentang fakta pernikahannya?

Salwa langsung memeluk erat sahabatnya. Jika pun benar kisah Rahma saling berkaitan, sungguh sangat berdosanya Salwa terhadap keadaan Najwa saat ini. Salwa yang memaksa kebenarannya dan saat ini Najwa yang menjadi korban dari kebenaran itu.

“Naj, apa pun yang terjadi kamu harus kuat, ada aku yang akan selalu mendukungmu.”

“Makasih, Sal.”

***

Jaka masih terdiam mendengar seluruh pengakuan dari istrinya. Jaka memang sudah yakin bahwa kejadian seperti ini pasti terjadi. Untuk saat ini ia pun tidak bisa berbuat banyak, selain meminta maaf dan berdoa untuk kebaikan Najwa serta putranya yang kembali ke Jerman.
Bagi Jaka Azka tidak bersalah. Azka hanya seorang korban, ia mengikuti semua keinginan di sekitarnya lalu mengorbankan hatinya.

“Pah, sudah jelas Azka itu kurang ajar!” Shopia masih tidak terima dengan pilihan Azka. Bagi Shopia kejadian sekarang bersumber dari Azka, dan tentunya Azka lah yang harus bertanggungjawab.

“Mah. Stop salahkan Azka. Dia anakmu juga, jangan egois!” Jaka mulai geram. Ia pun meninggalkan Shopia dengan semua pemikiran buruknya. Karena percuma menghabiskan tenaga untuk berdebat dengan wanita yang keras kepala seperti Shopia.

Jaka masih sangat merasa bersalah karena sempat menyetujui ide Shopia. Kini Jaka bergegas untuk menemui Najwa, semoga Najwa bisa melapangkan hatinya untuk bisa memaafkan kesalahan ini.

Tanpa meminta izin dari istrinya, Jaka memutuskan untuk pergi sendiri daripada beradu cekcok lagi. Ia pun langsung mengendarai mobilnya.

Dengan perasaan bersalah Jaka melangkahkan kakinya. Ia melihat Andi yang terdiam di kursi depan, tatapannya masih penuh dengan kebingungan. Jaka berusaha mengerti bagaimana perasaan seorang ayah jika melihat putrinya sangat terpuruk.

“Jaka? Mari duduk.” Andi menyambut kedatangan Jaka dengan hangat.

“Bagaimana keadaan Najwa?” Andi menundukkan pandangannya sambil menyeruput satu tegukan teh yang menemani sejak tadi.

“Maafkan kami.” Andi tidak menjawab. Ia masih fokus pada minumannya, sesekali membuang pandangannya.

“Kami juga bersalah. Intinya sama-sama bersalah,” jawab Andi. Keduanya sama-sama diam, sebenarnya Andi sudah muak membahas siapa yang salah dan siapa yang benar. Kenyataannya semua telah terjadi, nasi telah menjadi bubur dan satu-satunya jalan untuk menikmati sajian tersebut dengan menambahkan menu lainnya, begitu pun dengan hidup.

Andi membuang napas pelan. “Jika mau bertemu Najwa, silahkan.”

Jaka terpaku. Mungkin Andi belum sepenuhnya memaafkan, Jaka pun beranjak untuk menemui Najwa. Ingin rasanya Jaka menjelaskan seluruh kronologis masalah tetapi buka ide yang bagus jika diceritakan saat ini.

Tatapan Jaka langsung tertuju pada perempuan berkerudung tersebut. Perempuan itu begitu memendam banyak luka, dari tatapan yang redup menggambarkan banyak permasalahan yang telah dirasanya.

“Najwa,” ucap Jaka yang menyeimbangkan posisinya. Najwa hanya tersenyum tipis menyambut kedatangan Jaka.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” Najwa mengangguk pelan, ia terlihat menahan air matanya. Melihat Jaka sama dengan melihat kenangan yang sempat digoreskan Azka. Di mana Najwa yang tidak pernah diperlakukan baik, Najwa yang telah dikhianati serta Najwa yang kehilangan separuh dirinya. Dan semua itu karena Azka dan mereka.

“Maafkan, Papah.” Najwa diam. Ia tidak bisa menjawab, karena pada kenyataannya ia pun belum bisa sadar perihal kejadian ini. Kejadian yang nampak seperti mimpi yang tiba-tiba terbangunkan.

Sayang, Najwa terlalu lemah. Ia pun menunjukkan kelemahannya di depan semua orang. Ia menangis dengan kedua tangan menutup wajah, berharap dunia tidak ikut menertawakan nasib sekarang.

“Tidak ada yang harus minta maaf,” jawabnya. Najwa tidak ingin mengulang, Najwa harus berusaha bangkit untuk kehidupan yang akan mendatang. Semua kehendak-Nya harus diterima dengan lapang dada, karena Allah tidak akan menurunkan masalah tanpa jalan keluar.

Liku Najwa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang