Bagian Sembilan - Menikah

94 6 0
                                    

Pikiran Najwa terus berkeliaran mengingat setiap tingkah Akbar. Entah kenapa banyak sekali perbedaan pada Akbar. Dari cara berinteraksi pun tidak seperti Akbar biasanya, yang selalu terlihat ramah dan santun, bahkan tatapannya begitu tajam, seperti memendam kebencian.

“Astagfirullah,” gumamnya. Kenapa pikiran negatif itu terus berkeliaran, ini bukan waktu yang tepat untuk berprasangka buruk. Mungkin Akbar memang sedang banyak masalah.

Esok hari pernikahannya. Namun semakin waktu berjalan, semakin besar pula rasa keraguan yang muncul. Ketika sebuah perbedaan itu diperlihatkan, rasanya Najwa ingin mundur dan menyudahi.

Apa setiap orang selalu merasa seperti ini? Ketika akan menikah? batin Najwa berontak.

Apa ini yang selalu diucapkan mereka, bahwa menuju detik-detik pernikahan akan selalu banyak ujian. Baik ujian dari orang tua, keluarga laki-laki dan bahkan dari calon sendiri.

Jika pun ujian ini hasutan dari syetan, semoga bisa dikuatkan, batin Najwa lagi.

Najwa kembali merenung dengan sesekali ia mengingat hal manis dari Akbar, untuk menguatkan niatnya.

***

Seperti yang telah direncanakan, esok ialah puncak dari ide buruk Shopia. Azka masih tidak habis pikir, apa yang akan ia lakukan? Bahkan pertemuan dengan perempuan yang dicintai Akbar pun tidak membuat Azka terpesona.

Bagi Azka, Najwa hanya gadis sederhana dengan tatapan yang penuh harapan. Tidak ada sedikit pun yang membuat dirinya terpana.

Persetan!

Haruskah Azka pergi dan membatalkan pernikahan ini? Atau haruskah Azka mengakui bahwa dirinya bukan Akbar? Tapi hal itu sama saja membunuh harapan Shopia. Ia paling tidak bisa melihat wanita yang disayanginya itu menangis.

“Bodoh!” Azka yang langsung membanting ponselnya.

Azka hanya bisa berharap hari esok benar-benar tiada. Benar-benar tidak ada akad yang ia lontarkan untuk gadis yang sama sekali tidak dicintainya.

“Azka.” Jaka yang menghampiri anaknya. Ia memang paham tentang bagaimana perasaan anaknya yang menjadi korban keegoisan Shopia.
Jaka kembali menatap anaknya, ia melihat kemarahan itu dari raut Azka.

“Ada apa?” dengan tatapan sinisnya Azka berusaha menatap. Ia pun bingung harus bersikap bagaimana pada Jaka, selaku orang tuanya.

Tidak ada jawaban dari Jaka, ia hanya tertunduk dengan mengusap punggung anaknya. Namun ditepis kasar oleh Azka. Malam ini Azka benar-benar meluapkan emosinya.

“Kenapa Papah gak bilang dari awal? Kalau saja Azka tahu tentang rencana ini, Azka gak akan pulang! Persetan dengan ide bodoh!”

“Maafkan Papah, dan Mamah. Kami hanya ingin jalan pintas untuk kebaikan saja.”

“Kebaikan? Dari segi mananya? Ada kebaikan dengan mengorbankan kebahagiaan anak sendiri? Hah!” Azka beranjak dari duduknya. Ia keluar dengan membanting pintu kamar.

Sebagai seorang Ayah, Jaka merasa terpukul atas sikap anaknya. Wajar saja Azka bersikap keras, karena bagaimanapun kebahagiaan Azka telah direnggut dengan paksa. Bahkan Jaka pun bingung harus bersikap bagaimana.

Tatapannya kembali sendu, entah apa yang akan diperbuat Azka pada istrinya nanti. Akankah Azka bisa tetap ikhlas dan menerima sepenuh hati perkara takdirnya? Atau ia tetap berulah dan memenangkan egonya, seperti Shopia?

***

Atas restu Allah, hari ini Najwa dan Azka dinikahkan. Entah kenapa Najwa merasa asing dengan laki-laki yang kini telah melafalkan akad di depannya. Entah kenapa laki-laki itu serasa jauh dengan dirinya.

Ketika ucapan, saya terima nikah dan kawinnya Najwa Humaira binti Andi dengan seperangkat alat salat dan perhiasan mas dua puluh lima gram dibayar tunai, terdengar. Hati Najwa bergetar, ia harus memberikan seluruh hidupnya untuk laki-laki yang telah berjanji pada-Nya lewat akad nikah.

Ketika laki-laki itu mencium kening Najwa, rasanya masih begitu jauh. Tidak ada tatapan cinta darinya, hal ini terasa terpaksa dari sorot matanya. Bahkan, untuk ulasan senyum yang selalu Najwa rindukan pun tidak ada sama sekali.

Kenapa sesakit ini? Batin Najwa.

Kini kedua insan tersebut sama-sama berdiri dengan menyalami satu persatu undangan. Beberapa ucapan selamat terdengar jelas. Ada beberapa orang juga yang meminta foto bersama sambil berbisik, “doakan kami cepet nyusul, ya.”

Najwa hanya membalas dengan anggukan dan jawaban, “Aamiin.” Begitu pun dengan Salwa yang datang dengan kado besarnya, padahal kado bisa disimpan di meja tamu.

Salwa langsung memeluk erat dengan mata yang berkaca-kaca, ia tidak menyangka sahabatnya benar-benar menikah dengan laki-laki asing. Perkenalan yang unik dan proses yang singkat. Tentunya Salwa pun berharap Najwa memiliki kebahagiaan abadi dengan suaminya itu.

“Mas, mau minum?” Najwa yang memberanikan diri untuk mengawali perbincangan. Mengingat sejak tadi tidak ada percakapan apa pun dikeduanya. Azka yang sibuk dengan ponselnya, sementara Najwa yang berusaha tersenyum kepada seluruh tamu undangan.

“Tidak usah!” jawaban Azka yang terdengar sinis, padahal Najwa sudah berusaha berbaik hati memberikan tawaran.

“Ya sudah.” Najwa mengalah, tanpa protes.

Sudah hampir seharian juga Najwa berdiri dengan senyum yang harus terlontarkan. Akhirnya, acara pun selesai sebelum adzan asar berkumandang. Para tamu pun sudah tidak ada yang berdatangan.

Setelah semua selesai, Najwa dipersilahkan untuk membersihkan tataannya. Najwa pun langsung mengganti pakaian dan berkumpul dengan keluarga besarnya. Memang pesta pernikahan Najwa digelar tidak terlalu mewah. Acara ini dilaksanakan di halaman rumah Najwa, dengan mengundang beberapa kerabat dekatnya.

“Pengantin baru. Selamat, ya.” Shopia yang memberi selamat dengan pelukan hangat, Najwa berusaha tersenyum membalas pelukan Mamah mertuanya ini. Begitu pun Jaka yang memberi selamat pada Najwa dan Azka.

Sesuai kesepakatan, Najwa dan Azka tinggal dulu bersama di rumah orang tua Najwa, sebelum mereka pindah ke apartemen yang telah disiapkan Shopia dan Jaka.

“Mas, mau makan apa? Biar Najwa ambilkan. Sejak pagi, Mas belum makan.”

“Gak perlu!” jawaban Azka yang mengejutkan semua orang, terutama Dini.

Najwa kembali diam, sudah beberapa kali penolakan dilontarkan suaminya. Kenapa tiba-tiba Akbar bersikap seperti ini? Ingin rasanya Najwa menumpahkan air matanya, tetapi ia tahan sekuat-kuatnya. Tidak mungkin Najwa tiba-tiba menangis di depan semua orang.

***

Setelah kejadian tadi siang, Najwa masih berusaha sabar. Ingin rasanya malam ini Najwa berdiskusi tentang perubahan Akbar setelah kepulangan dari Jerman. Namun, suaminya sudah terlelap terlebih dahulu, tepat di samping Najwa.

Akbar yang penuh kelembutan hanya sebagai khayalan saja untuk sekarang, tidak ada kehangatan yang bisa dirasakan Najwa. Ada apa sebenarnya?

“Mas, kamu kenapa berubah?” bisik Najwa tepat di samping telinganya. Jemari Najwa mulai menelusuri rambut suaminya.

“Mas, surgaku ada pada dirimu, bantu aku menjadi istri terbaik.” Najwa melanjutkan bisikannya.

Bohong! Azka tidak tidur, ia hanya berusaha terpejam menghindari percakapan apa pun dengan istri pura-puranya. Ingin rasanya Azka menepis tangan Najwa, ia sudah muak mendengarkan ucapan-ucapan Najwa. Namun Azka berusaha menahan sekuat tenaga.

Azka hanya bisa berharap, Akbar benar masih hidup dan bisa menggantikan posisi terburuknya ini.

“Selamat malam, Mas.” Najwa yang mengecup singkat rambut suaminya

****

Akhirnya,
Jangan lupa krisar, ya.

Liku Najwa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang