Bagian empat belas - Kebenaran

85 9 0
                                    

Rahma benar-benar pergi. Ia meninggalkan Azka dengan seluruh kebimbangan, antara harus jujur menurut sarannya, atau tetap berpura-pura.

Sial! Kenapa harus melakukan hal bodoh itu, Azka membatin. Jika pun Azka terlepas dari Najwa, ia akan kembali dengan cintanya dan melanjutkan kisah yang terhenti. Artinya Azka harus mengambil keputusan kuat, ialah mengakui siapa dirinya.

Azka pun beranjak, ia harus segera menyelesaikan masalahnya. Tidak memakan waktu lama untuk sampai di apartemen. Azka yang telah diambang pintu sudah cukup berani untuk menyerukan kebenaran.

"Saya mau bicara." Azka yang langsung duduk, dan diikuti oleh Najwa. Najwa yang pasrah, ia hanya dia menjadi pengamat, tidak berani memulai percakapan apa pun.

"Ini perkara penting. Jadi saya harap kamu menerimanya." Najwa berusaha melapangkan hatinya, karena apa pun yang akan dibahas Azka, Najwa siap menerima.

Azka terdiam sejenak, sementara Najwa masih menunggu kejelasan seutuhnya.

"Pertama, saya akan mengakhiri pernikahan ini. Karena bagaimanapun saya tidak punya cinta untuk kamu. Kedua, saya bukan Akbar. Saya Azka, dan, ya. Pernikahan ini tidak sah."


Najwa sangat terkejut mendengar kejelasan itu. Selama ini yang hidup satu rumah dengannya bukan laki-laki yang teramat ia cintai, melainkan orang lain. Laki-laki yang telah merenggut mahkotanya itu bukan suaminya. Dalam artian Najwa telah melakukan zina besar. Najwa tidak percaya.

"Maksudnya? Azka? Siapa Azka! Jika kamu tidak mencintaiku, cukup jujur saja. Tanpa harus merekayasa cerita. Aku ikhlas!"

"Saya tidak merekayasa. Memang saya bukan Akbar! Saya Azka saudara kembar dari Akbar. Akbar kecelakaan di pesawat saat ia akan kembali ke Indonesia, tepat satu Minggu pernikahan kalian!" kejelasan itu bak dengungan yang seakan membuatnya hancur. Mana bisa rahasia besar seperti ini saja, ia tidak tahu?

"Dan saat itu, mereka memaksaku untuk pura-pura menjadi Akbar. Termasuk orang tua kamu pun tahu tentang hal ini." Najwa tak percaya. Ia dikhianati banyak orang. Sudah tak tahan, hingga akhirnya Najwa menangis dalam kepiluan. Ia jijik akan dirinya yang begitu bersikap rendah di laki-laki lain yang jelas bukan suaminya.

"Jadi sekarang kamu paham, kan! Kenapa saya menghindar, kenapa sikap saya. Dan itu semata-mata untuk menjaga. Tapi, saya mohon maaf atas kekhilafan saya semalam, itu benar-benar di luar kendali." Mendengar hal tersebut Najwa langsung berdiri dengan amarah dan tangisan.

"Aku tahu kenapa kamu melakukan itu! Tidak cukupkah sikap kamu yang membuat saya hancur! Apa harus kamu mengambil hal yang bukan menjadi hak kamu? Sekarang aku sudah dosa besar. Aku jijik aku malu. Dan MULAI SAAT INI AKU AKAN PERGI!" Benar saja Najwa beranjak dengan mengambil beberapa pasang bajunya. Azka hanya duduk mengamati hal yang berada di depannya. Antara bersalah, dan kebahagiaan. Bersalah atas apa yang ia lakukan, dan bahagia untuk perpisahan yang membuat dirinya terbebas.

Najwa yang terus saja menangis, ia tidak tahu harus berbuat apa. Najwa sungguh tidak percaya, mereka yang Najwa kira sebagai perlindungan ternyata berkhianat atas egonya. Padahal jelas Najwa merasakan kesakitan yang luar biasa.

Ia langsung bergegas pergi tanpa mengeluarkan kata apa pun. Azka tidak berani berkata lagi, karena percuma nasi sudah menjadi bubur. Apa pun yang dirasakan tetap sepeti ini, selagi hati dan pikiran tidak membantu untuk saling mengikhlaskan.

***

Rumah orang tuanya bukan lagi rumah kenyamanan bagi Najwa. Semua kepahitan berkumpul di setiap sudut ruangan. Pengkhianatan yang mengiris seakan ikut tertawa. Kini Najwa berusaha berdiri kokoh, tepat di depan pintu rumah. Isak tangisnya masih terus membanjiri pipinya.

Liku Najwa (COMPLETE)Where stories live. Discover now