34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)

Comenzar desde el principio
                                    

"Ambil saja, Army. Ini memang untuk kamu. Ibu tahu pikiran kamu pasti ke mana-mana. Jangan salah sangka, Nak. Ibu nggak ada maksud apa-apa."

Iya, Ibu emang nggak ada maksud apa-apa. Tapi aku udah bohongin Ibu. Aku bukan siapa-siapanya Bima, Bu. Aku cuma orang yang asing yang nggak sengaja dikenalkan Bima ke Ibu dan Yura. Aku nggak pantes dapat hadiah ini dari Ibu. Aku sama sekali nggak pantes, Bu.

Army menahan pedih hatinya. Ibu terlalu menganak emaskannya, padahal yang ia berikan ke Ibu hanyalah sandiwara.

"Bu, tapi..." Army tidak enak hati, kepalanya menggeleng pelan. "Aku nggak bisa terima ini, Bu. Buat Ibu aja, ya. Kalau suatu waktu butuh, bisa dijual lagi. Maaf sekali, Bu." Army saling menempelkan telapaknya di depan wajah.

Ibu tersenyum, menggenggam tangan Army, "Ibu simpan saja, ya. Nanti kalau waktunya tiba, akan Ibu kasih kamu."

Army mendengus, gelengannya kali ini lebih tegas. "Bu... sebenarnya... Army dan Bima nggak ada apa-apa, Bu. Kami..." Kata-kata Army terputus, lidahnya tiba-tiba kelu.

"Kalian putus?" tanya Ibu tenang.

Army menggeleng lagi, "Sebenarnya, aku udah bohongin Ibu..."

"Maksudnya?"

Dengan segenap keberanian yang tersisa, Army menceritakan awal mula kenapa ia bisa menjalani hubungan ini dengan Bima. Army tak ingin lagi rasa bersalah itu membebani pikirannya. Dia siap jika harus menerima amarah Ibu. Bagi Army, kemarahan Ibu lebih pantas ia dapatkan dibanding cincin seribu makna yang ada di dalam kotak beludru merah itu.

"Maafin Army, Bu. Sekarang Ibu tahu alasan kenapa Army nggak pantas dapat benda itu," kata Army dengan air mata yang menganak sungai. "Army hanya orang asing, Bu. Army bukan siapa-siapanya Ibu."

Army menutup matanya. Dia pikir Ibu akan kecewa padanya. Dia kira Ibu akan pergi meninggalkannya, tetapi Ibu justru tersenyum memegang kedua tangan Army beserta seribu kehangatan yang menjalar dari sana.

Dengan pandangan yang buram, Army menatap Ibu. "Oh jadi begitu. Terima kasih sudah jujur ke Ibu, ya."

Jika saja dia bisa menghambur ke pelukan Ibu layaknya seorang anak yang menangis karena baru saja ditinggal ibunya ke pasar. Sayangnya, Army sungkan. Dia memilih untuk menyeka pipi yang basah dan kembali menegakkan punggung.

"Tapi Ibu mau tanya satu hal sama kamu? Kali ini kamu juga harus bersikap jujur seperti tadi."

Army mengangguk sebagai jawaban.

"Apakah perasaan kamu ke Bima juga sandiwara?"

Satu pertanyaan yang Army sendiri tidak dapat menjawabnya. Pertanyaan yang selama ini menghantuinya beserta seribu kebimbangan yang menenggelamkan. Kalau saja ia cukup berani menetapkan, Army akan bilang "Aku pun menyayanginya" dengan lantang.

Army memilih diam. Kalaupun ia mengakuinya, itu tidak akan merubah keadaan yang terjadi di antara mereka.

"Tidak perlu kamu jawab kalau kamu nggak mau. Dari diam dan sorot mata kamu sekarang, ditambah keberadaan kamu di sini menemani Ibu, itu jawaban yang lebih dari cukup buat Ibu."

"Ma--Maafin Army, Bu. Army harap, Ibu tetap menerima Army walaupun sekarang Army bukan siapa-siapa lagi."

"Tentu. Hubungan Ibu dan Army nggak ada kaitannya dengan Bima."

Ya Tuhan, terbuat dari apakah hati wanita yang berada di hadapan hamba?

"Jadi kamu tetap nggak mau terima ini?" Ibu mendorong kotak beludru itu kepada Army.

ARMY (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora