32. Titik Nadir

Mulai dari awal
                                    

*****

Memasuki musim penghujan yang terlambat, suhu di Jakarta semakin tidak menentu. Siang panas, sore mendung dan gelap tanpa kepastian apakah hujan akan datang. Angin berembus kencang saat Bima terbangun dari tidurnya. Jendela kaca berderit-derit didorong angin dari luar, gorden kecilnya mendayu-dayu. 

Dia terbangun, menutup jedela, mengumpulkan nyawa. Begitu kesadarannya pulih, dia menuruni tangga. 

"Bim, bantuin gue ngupasin bawang, dong," sahut Yura yang muncul dari dapur membawa sebaskom bawang putih. 

Bima mengangguk, lantas duduk di salah satu kursi makan. Hari ini, kedai tutup karena kondisi Ibu yang menurun dan beberapa pegawai tengah pulang kampung. Yura memutuskan untuk mengistirahatkan kedai. Sudah sebulan lebih kedai ini beroperasi terus-menerus, tanpa libur. Dia butuh waktu untuk membereskan semuanya, seperti membersihkan dapur, mengecat ulang etalase, dan membereskan hal lain secara masif. Dan inilah waktu yang tepat. 

Bima mengupas bawang sembari melamun.

"Bim, tolong bilangin Army dong. Risol mayo yang dia pesan, lusa baru nyampe. Soalnya pesanannya ngebludak." 

Bima tidak menanggapi, seakan kulit bawang yang ia buka lebih menarik dibanding omongan Yura. 

"Oy!" Yura menggetok meja di depan Bima. 

"Ia dengar. Tapi, pesan gue aja nggak dibalas dari kapan tahu," gumam Bima yang terdengar seperti keluhan. 

Yura mengerutkan kening, "Baru semalam gue chatting sama dia," katanya.

"Kalau gitu kenapa lo nggak chat dia langsung aja?"

"Gue off. Hehehe." 

Bima mendesah berat. Kalau chat Yura saja dibalas, berarti memang Army sedang menghindarinya. Berarti kata Andaru tepat, dialah penyebab Army bersikap demikian. 

"Kalau cewek ngambek itu biar baik lagi gimana?" Bima bertanya tanpa menatap Yura. 

Yura, yang sama-sama sedang mengupas bawang, menggerakkan matanya ke kanan-kiri. "Tergantung ngambeknya gara-gara apa," jawabnya. 

Bahu Bima bergerak, "Nggak tahu, nggak paham. Dia nggak ngomong alasannya. Coba aja dia jelasin, pasti akan gue perbaiki." 

"Hmmm... Cewek tuh emang gitu. Kesannya ribet, padahal keinginannya sederhana." Yura menjeda. "Mungkin dia butuh... perhatian lebih?" 

"Kalau Army cewek biasa, menyikapinya bisa yang kayak lo bilang. Tapi, dia bukan cewek biasa, itu yang gue bingungin."

Yura terkikik, "Iya, sih." 

"Oh ya, Ra."

"Hmm?"

"Gue butuh bantuan lo." 

"Apa?" 

******* 

Area kampus yang sepi menjadi tempat paling tepat bagi Army bertemu Bima hari ini. 

Setelah nyaris dua minggu Army menghilang begitu saja, ia memutuskan untuk mengirim sebuah pesan kepada Bima yang mengatakan jika ia akan menemuinya pukul dua siang di lapangan depan Gedung Utama. 

Army duduk di rerumputan yang letaknya berhadapan langsung dengan lapangan. Sebuah pohon kelapa yang tak lagi berbuah dan pelepahnya telah kering menjadi sandarannya untuk berteduh dari matahari yang tidak terik. Embusan angin menerbangkan anak rambut di sekitar wajahnya. 

Bima memandang Army yang terduduk di sana, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hawa berat menyergap dadanya. Seakan ia tahu apa yang ingin Army katakan pada pertemuannya kali ini. 

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang