Lima; Yang Pernah Pergi, Regi

Start from the beginning
                                    

"Nggak apa-apa." Lagi-lagi Gassani adalah nama yang harus ia jaga, di hadapan siapa pun, bahkan Regi. "Klien Papa udah nunggu. Kayaknya mereka lagi ada masalah," dusta Tera terdengar begitu sempurna dan Regi percaya.

"Oh, pantes aja Papa lo marah."

Tera tertawa, menertawakan kejadian yang sebenarnya. Pikiran gadis itu lagi-lagi melayang. Malam itu kembali terulang. Dering ponsel dan suara asing di baliknya yang Tera dengar. Setelah itu yang terngiang di ingatan Tera adalah bagaimana amarah Papa muncul lebih hebat dari biasanya. Namun gadis itu masih sama, tidak bisa melakukan apa-apa.

"Lo ngalamun lagi?"

Menimbang sejenak, Tera memainkan jemarinya. Menghitung lampu taman sekadar untuk menghilangkan ragu di dada. Lalu ia kembali menatap Regi.

Harus ada obrolan lain untuk mengalihkan pembicaraan mereka.

"Banyak. Otak gue penuh rasanya. Sampai gue hampir gila."

Membuang muka, Tera tak lagi berminat membicarakan apa-apa. Namun Regi masih sama, gigih pada apa yang diingininya.

"Salah satunya?"

Memutar bola mata, harusnya memang ada yang Tera batasi di sini.

"Mimpi gue sendiri."

"Mimpi?" Regi membeo.  Ada tanya di kata yang Regi ucapkan barusan. "Buat kita, kayaknya mimpi itu nggak gitu penting. Semua udah diatur, kan?"

Jantung Tera seolah berhenti saat nada bicara Regi berubah dingin. Meski harus diakui bahwa kalimat itu benar, rasanya Tera tak ingin membenarkan.

Ia penasaran. Kenapa mereka punya, dan ia tidak.

Cowok itu menatap Tera sejenak, seolah tak yakin pada apa yang dia ucapkan barusan. Maka, untuk memperbaikinya, dia kembali membali membuka suara.

"Tapi nggak ada salahnya, sih, punya mimpi. Gue misalnya, mimpi gur ya cuma satu, pengin nikahin lo."

Jantung Tera seperti berhenti. Gadis itu menatap cowok di sisinya. Bagaimana bisa seseorang yang pergi mengucapkan kalimat itu dengan begitu ringan, seolah tak ada rasa bersalah di sana, seolah tak ada yang berubah di antara mereka.

"Jangan bercanda."

"Siapa yang bercanda?"

Mata Tera membola, ia mendengkus dan membuang muka. Mobil Regi memelan dan berhenti di bawah lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah bersamaan dengan jemari Tera yang mengepal, marah.

"Lo yang hancurin semuanya. Sekarang jangan ngomong seolah lo nggak pernah ngelakuin apa-apa."

Regi terdiam, seolah kalimat Tera menamparnya telak. Lalu dia membiarkan bisu membelenggu di antara mereka, hingga lampu kembali hijau dan mobil melaju pelan.

"Sorry," bisik cowok itu lirih.

"Gue di sini karena emang cuma lo yang bisa bikin gue keluar dari rumah gue. Tapi jangan pernah lupa kalau lo pernah nyakitin gue."

Mendadak suhu di sana berubah. Rasanya tidak nyaman, Tera ingin segera pulang. Ia menatap jendela, berusaha menganggap Regi tidak ada, tapi decit mobil membuatnya tersentak. Tubuh gadis itu terdorong ke depan karena rem yang diinjak mendadak. Regi mengumpat, tepat setelah suara benturan ringan terdengar.

Detik seolah melambat, Tera bisa menangkap sosok yang familier di depan mobil Regi, yang memegang lengannya kuat dan meringis kesakitan. Hoodie kelabu yang ia kenakan tersingkap, membuat Tera bisa melihat rambutnya yang berantakan. Cowok itu menatapnya, seolah kelelahan.

Tera mengenalnya.

Dan saat Tera ingin menghampirinya, cowok itu hilang dalam malam.

***

Setelah mobil Regi pergi, Tera menghela napas panjang sambil memasuki pintu rumahnya yang menjulang. Tinggi, tapi tempat ini terasa begitu mati. Ditampah pikiran Tera yang sedang tidak di sini.

Belum selesai dengan mimpinya, kalimat Regi sudah mengganggu. Bagaimana bisa Tera mengabaikan kalimat itu. Bagaimana bisa Tera menghancurkan mimpi seseorang dengan tangannya.

"Kamu dari mana?"

Langkah Tera terhenti. Ia menemukan Papa duduk di meja makan. Di hadapannya ada Mama, yang selalu tanpak tenang. Tak ada yang repot menyapa Tera, seolah kehadiran gadis itu memang tidak dinantikan.

"Jalan, sama Regi."

"Ke?"

"Makan. Regi bilang itu resto cabang baru punya keluarganya. Minggu depan waktu peresmian, dia mau undang Papa sama Mama ke sana."

Info yang Tera beri lebih dari cukup, rasanya. Mama tersenyum, senyum yang Tera dapat jika ia mendapat nilai sempurna. Papa pun sama, meski terlihat tak tertarik, Tera tahu ada jejak senyum di bibirnya.

Beliau membiarkan Tera berlalu, dan malam itu berjalan sedingin biasanya.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Forget MeWhere stories live. Discover now