25. Aku terserah bukan menyerah

Start from the beginning
                                    

“Cewek lo, Bos?” tanya Hafiz menyeringai. “Cewek mana yang mau lihat cowoknya selingkuh didepan matanya sendiri, bahkan sampai rangkul-rangkulan. Lo fikir cewek lo, masih anggap lo pacarnya?” tanya Hafiz membuat tatapan tajam Angkasa semakin memicing. 

Angkasa langsung melepas rangkulan tersebut dan menatap Raisa yang masih menduduk memakan bekalnya. Ucapan Hafiz juga membuat anak Razel tertawa geli. 

“Udah diingetin dari tadi, tapi emang Pak Bos yang betah,” balas Erick memanasi mereka sembari menyeringai, “Ahhhh mantap kan Bos?” 

“Mantap dong!!!” sahut Robi tertawa. “Cewek cantik, badan berisi, montok, bule. Gue juga gak akan nolak,” katanya. 

Kania mendorong tubuh Robi hingga terjungkal kebelakang. “DASAR JANTAN!!” bentaknya. 

“Bercanda, By.” Kata Robi. 

“Ba, bi, ba, bi, cewek lo babi, Rob?” tanya Hafiz. 

“Bacot lo, Fiz.” Balas Robi bangkit, dia langsung merangkul Kania dan meraih dagunya, “Bercanda Kan, cuma buat bully Pak Bos doang,” balasnya. 

“Angkasa dan Raisa memangnya pacaran? Bukannya mereka cuma temenan doang?” tanya Clara menyela ucapan mereka, “Bukan nya Raisa cuma pelampiasan Angkasa doang? Memang nya mereka punya status?” 

Pelampiasan. Raisa baru sadar akan hal itu. Kini Raisa mengerti kenapa ketika dia meminta status kepada Angkasa, lelaki itu selalu saja berkelit. Dia menatap kosong pandangan nya, apa yang Clara ucapkan memang ada benarnya, Raisa dan Angkasa memang tidak ada hubungan apapun, tidak ada status diantara mereka. 

“Dasar PHO, udah salah, masih aja mau berkelit,” sindir Vina meliriknya. 

“Sekarang aku tau, kenapa ketika aku meminta sebuah status diantara kita, kamu selalu berkelit. Sekarang aku mengerti, kenapa ketika kita bersama, selalu ada yang salah. Disini bukan kamu yang salah, melainkan aku, aku yang mencintai kamu sendiri, yang berharap sama orang, yang gak pernah bisa diharapkan sama sekali. Disini aku yang salah, aku salah karena aku memaksakan perasaan kamu, yang aku tau, itu bukan untuk aku....” 

“Aku lelah, lelah sama sikap kamu. Kamu nyakitin perasaan aku, tanpa tau perasaan aku seperti apa. Dengan mudahnya kamu minta maaf, lalu kamu menyakiti aku kembali, kamu fikir itu tidak membuat luka dihati aku?” 

“Kamu seperti melempar batu kedalam lautan dengan mudahnya, tanpa kamu tau, sedalam apa, batu itu jatuh. Aku terserah, bukan menyerah. Aku terserah gimana akhirnya, aku juga terserah kamu mau nyakitin aku seperti apapun, aku terserah akan hal itu...” 

“Aku selalu berharap lebih sama kamu, aku selalu berekspetasi tinggi tentang kamu, aku selalu ingin lebih dari kamu.” 

“Ketika dokter mendiagnosa umurku hanya beberapa bulan, aku kira aku sebenarnya sudah mati. Aku seperti mayat berjalan yang berharap akan kehidupan. Tetapi itu semua sirna, itu hilang, ketika kamu datang, dan kamu mewarnai hidup aku. Kamu seperti malaikat, yang datang menemani aku, menjaga aku, dan melindungiku.” 

“Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Aku sudah tau kita akan berpisah, mungkin ini lebih baik, disaat aku pergi untuk selama-lamanya, kamu bisa bersama, Clara. Aku tidak akan pernah melupakan hari, dimana kita bersama, tertawa, dan bahagia...” 

“Waktu yang kita habiskan berdua, tidak pernah aku bisa lupakan sampai kapanpun...”

“...Angkasa.” 

Tatapan Angkasa melemah, ketika melihat Raisa menyeka air matanya. Mungkin hal itu tidak disadari oleh siapapun, tetapi Angkasa menyadarinya karena Angkasa terus memperhatikan Raisa. Tubuh mungil, dengan warna kulit putih pucat itu selalu menarik perhatiannya dari awal. 

“Aku tau kamu kecewa, kamu marah, kamu lelah. Aku minta maaf, aku laki-laki pengecut, yang hanya ingin kamu tidak terluka. Tetapi tanpa aku sadari, aku melukai hati kamu, aku membuat luka yang selalu membekas dalam diri kamu. Aku minta maaf. Aku melakukan ini karena aku memiliki alasan yang pasti.” 

“Aku butuh waktu untuk bisa mengakhiri semua rasa pahit, diperasaan kita...” 

“Tapi kenapa? Kenapa kamu hanya diam ketika kamu marah? Kenapa kamu hanya bisa menutupi semua rasa kecewa kamu, dengan diam?” batin Angkasa

Raisa mendongak menatap Angkasa hingga mereka saling beradu pandang satu sama lain. Mata hitam dan coklat itu kini saling berbicara, sorot matanya memberikan sebuah jawaban yang tidak dimengerti satu sama lain. 

“Jika bisa, aku akan berteriak, berteriak sekencang-kencang nya didepan wajah kamu. Karena saking aku kecewanya sama kamu, tapi gak bisa! Aku hanya bisa diam ketika aku kecewa, dan ketika aku marah. Sekalipun aku marah, dan benci sama kamu, aku gak akan pernah bisa lupa sama kamu. Semakin aku memberi tau kepada kamu, hal itu akan semakin membuat luka dihati aku....” 

“Luka yang kamu buat secara sengaja, itu sudah ada dan melekat dalam diri aku...” 

“Kamu gak akan pernah tau, disaat aku sedang menyayangi kamu, disaat aku sedang mencoba memperbaiki ulang hubungan kita, disaat aku sedang membangun perlahan, tetapi dalam sekejap mata malah kamu hancurkan....” 

“....Angkasa.” 

ANGKASA (END)Where stories live. Discover now