<02. I Need You>

93K 7.7K 1.3K
                                    

Sudahkah kalian klik votes?

Sudahkah kalian klik votes?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

••••••••••

Ratih Audia

"Gue mau elo malam ini, Rat."

Kalau Raden udah ngomong gitu, aku biasanya langsung iya-iya aja. Sebelumnya, mana bisa aku tuh nolak dia. Tapi, kali ini beda banget moodku. Entah karena hormon ibu hamil atau karena aku udah mulai berubah. Egois?

"Capek, Den."

Pelukannya di tubuhku mengendur, kayaknya dia nggak percaya kalau aku lagi capek. Karena secapek apa pun aku biasanya, selalu mau ngelakuin itu sama dia. Selalu ngasih dia itu. Aku memejamkan mata. Nggak mau memerhatikan lebih dalam raut wajahnya saat ini.

Sebenernya, ada perasaan seneng sih pas dia secara terang-terangan membutuhkan aku. Pengin aku. Ah, lebih tepatnya pengin tubuhku ini. Biasanya aku tuh langsung mau. Sekarang, enggak. Biasa aja. Tapi, ya, ini semua gara-gara kalimatnya 'I love you too' itu.

Seharusnya, Raden nggak usah ngomong gitu. Bikin aku berharap lebih. Aku tahu tuh kalau dia sama sekali nggak cinta sama aku. Aku nerima kok. Aku nggak bisa nerima dia, kalau dia malah pura-pura kayak gitu. Ngomong 'I love you too', nyatanya masih ngigau namanya Killa. Kan, bangcat.

Sebagai balasannya, aku nggak mau kasih jatah dia. Males.

"Rat, ayo lah."

"Nggak mau," tolakku lalu menaikkan selimut hingga menutupi bagian dada.

Kita tinggal di kontrakkan sepetak ini baru 3 hari. Aku nggak mau ditinggal di sini sendirian karena tempatnya suram. Belum terbiasa kali, ya. Tapi, kata Raden besok dia mulai harus cari kerja. Udah cukup di rumahnya. Itu artinya, mulai besok aku akan sendirian di sini. Di rumah suram ini. Sedih, deh.

"Ya, udah kalau lo capek," ujarnya lalu turun dari ranjang, melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi. Ya, ya. Begitulah. Dia main solo. Rasain.

Aku belum bisa tidur sampe Raden kembali dari kamar mandi terus tidur di sampingku. Dia tahu aku belum tidur.

"Udah?" tanyaku, sedikit menyindir.

Raden menarik hidungku. "Katanya capek," balasnya menyindir. "Tidur, gih."

"Capek nggak harus tidur cepet," balasku sambil menatap wajahnya. "Panas."

"Iya, besok gue beliin kipas angin."

"Emang ada uangnya?"

"Ada," jawabnya singkat.

Kayaknya baru beberapa menit deh aku ngelihatin Raden. Ya, cuma ngelihatin doang sampe dia bener-bener tidur. Dia tuh gampang banget tidurnya. Emang julukan pelor pantes banget buat Raden.

RadenRatihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang