Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji

Start from the beginning
                                    

"Dan tolong jangan berharap kita menjadi saudara atau keluarga. Saya sudah terbiasa hidup sendiri setelah Mama memilih pergi bersama ayah kamu."

Dingin kalimat yang Galaksi perdengarkan mampu menampar Biru dengan telak hingga ia tidak mampu merangkai sebuah kalimat sanggahan setelahnya.

Ya, Galaksi benar. Seharusnya Biru sadar akan posisinya bagi Galaksi. Seharusnya Biru bersyukur masih ada sosok yang sudi menampungnya hingga ia memiliki tempat untuk berteduh dan melanjutkan sekolah.

Terdengar sangat egois jika Biru masih menginginkan atensi Galaksi untuknya. Meski ia sangat menginginkan hubungannya dengan Galaksi layaknya adik dan kakak pada umumnya, seharusnya Biru sadar akan posisi nya.

Tertunduk dalam, Biru kembali bawa jemari mungilnya untuk genggam ujung-ujung pakaiannya hingga kusut, "Maafin Biru kalau udah bikin Kakak nggak nyaman. Kakak bener, harusnya Biru sadar posisi Biru di rumah ini. Maaf karena udah bikin kakak nggak nyaman sama sikap Biru."

Sepasang kelereng cokelat madu Biru terlihat sayu saat ia mendongkak menatap Galaksi yang jauh lebih tinggi darinya.

"Biru pamit ke kamar, Kak. Maaf kalau Biru udah buang waktu berharga Kakak cuman buat omong kosong Biru."

Setelahnya, punggung mungil remaja limabelas tahun itu berbalik hingga kian menjauh dari pandangan netra tajam Galaksi. Pemuda itu hanya diam tanpa merubah raut wajahnya saat jelaga hitamnya terpaku pada punggung mungil bocah itu.

Tepat setelah sosok Biru tenggelam di balik daun pintu kamar yang tertutup, Galaksi buang napas sejenak sebelum merajut langkahnya menuju kamar. Namun, saat dirinya melewati ruang makan yang selalu sunyi, netra tajam Galaksi menangkap dua porsi nasi goreng yang masih mengepulkan asap-asap tipis yang menandakan makanan tersebut belum lama di buat, serta segelas kopi dan susu di masing-masing sisi piring.

Kembali, desah napas panjang Galaksi perdengarkan seiring jemari kekarnya yang mengusak kasar surai kelamnya hingga berantakan.

Persis seperti suasana hatinya yang berantakan.

•••••


Waktu sudah menujukan pukul sebelas malam saat gerimis yang tadinya singgah kian berganti hujan di sertai petir dan angin kencang. Seharusnya, waktu tersebut sudah cukup membuat orang lain terlelap di temani suara hujan dan membungkus tubuhnya dengan selimut hangat.

Namun di sudut jendela kamar yang tertutup sana, Biru yang baru menempati kamar tersebut selama dua minggu itu terduduk sembari menyingkap gorden yang menutup kaca jendelanya. Tidak ada yang bocah itu lakukan selain mengamati tetes-tetes hujan dari balik kaca jendelanya.

"Biru kangen Ibu sama Bapak," ucap lirih Biru dengan sendu tatapannya yang tertuju pada potret beku keluarga kecilnya dulu.

Biru arahkan manik cokelat madunya pada pigura yang membingkai potret dirinya bersama Ibu dan Bapak yang tengah tersenyum begitu cerah.

"Bapak sama Ibu gak usah khawatirin Biru disini. Walaupun bude sama tante Mayang gak mau ngurus Biru, tapi sekarang Biru udah punya kakak yang mau merawat Biru. Namanya Galaksi, meskipun dia belum bisa nerima Biru sepenuhnya, seenggaknya dia masih mau bawa Biru buat tinggal di rumahnya."

Biru tatap bagaimana wajah sang Ibu yang tersenyum cerah sembari memeluknya dari belakang. Meski bocah itu tidak menangis ataupun mengadu, tetapi retakan panjang di balik tatapan sayunya sudah cukup menggambarkan bagaimana patah yang anak itu rasakan.

Rengkuh Sang BiruWhere stories live. Discover now