Bagian empat belas - Kebenaran

Mulai dari awal
                                    

Tangannya dipaksakan untuk mengetuk pintu rumah. Namun, entah bagaimana Najwa bersikap pada mereka. Karena apa yang mereka anggap terbaik, nyatanya jauh dari kata baik bagi Najwa.


Kini tepat di hadapan Najwa telah berdiri wanita yang selalu Najwa rindukan dengan raut wajah yang hangat. Tapi bodohnya Najwa terlalu egois, ia datang dengan kemarahan.

"Bunda, Najwa kecewa sama Bunda!" Najwa yang langsung meluapkan emosinya. Tangisan yang terisak membuatnya lemah hingga ambruk tak berdaya. Dini yang kaget dengan keadaan anaknya berusaha membopongnya. Wajah yang kehilangan senyuman, mata sembab, membuat Dini terus saja waswas.

Mereka berdua duduk bersampingan. Najwa masih terisak, seperti kehilangan energi untuk bercerita. Dini terus memeluk dan menguatkannya, ia tidak membanjiri pertanyaan apa pun. Karena Dini tahu pasti ada hal yang tidak beres, atau mungkin Najwa sudah tahu semuanya.

Dini pun ikut terisak.

"Bunda...." lirihnya. Dini langsung memandang dengan harapan Najwa mau bercerita. Jika pun Najwa memaki dirinya, Dini rela. Asalkan seluruh beban hidupnya ikut pergi bersama cacian yang dikeluarkannya.

"Bun, kenapa Bunda melakukan ini? Kenapa Bunda membiarkan Najwa menikah dengan laki-laki lain? Bun, dia bukan Mas Akbar! Dia jahat, Bun." Najwa yang terus terisak, Dini pun tak kuasa, ia kembali memeluk erat putrinya. Permintaan maaf terus dilontarkan.

"Bun. Najwa berdosa, Najwa berdosa, Bun! Najwa benci sama diri Najwa sendiri." Tangan halusnya memukul-mukul dirinya sendiri, hal itu membuat Dini semakin merasa bersalah. Kini anaknya menjadi korban keegoisan semua pihak, Najwa yang dirugikan. Najwa yang disengsarakan.

"Sudah, Nak. Sudah." Dini menghentikannya.

"Bunda jangan dekat-dekat! Najwa sekarang sudah menjadi sampah. Semua kehormatan Najwa sudah diambil. Dan Najwa ... Najwa gak tahu hukuman apa yang Allah berikan untuk Najwa." Dini terkejut dengan kenyataan dari anaknya. Ia semakin terluka, gadis yang terlihat ceria, kini terkurung dalam kisahnya.

"Nak, istighfar! Allah maha pengampun. Ini semua salah Bunda, biakan Bunda yang menanggungnya."

"Najwa bodoh! Najwa bodoh." Tangannya terus memukul diri sendiri.


Hari ini bagai petir menyambar. Luka Najwa membuat siapapun prihatin, tidak ada lagi sekilas senyum. Hidupnya telah berkeping-keping. Dan bahkan seperti kehilangan semangat hidup. Jiwa dalam raganya sepeti terlepas.

"Bun ... Mas Akbar, ke mana? Kenapa dia tega meninggalkan Najwa! Kenapa dia tega membuat Najwa berharap, kenapa, Bun?" Dini tak kuasa, ia hanya terisak melihat keadaan yang semakin buruk dalam setiap ucapan yang diucapkan Najwa.

"Kamu istirahat dulu, Nak. Kamu pasti cape, nanti Bunda buatkan sup hangat." Dini berusaha membujuk. Namun Najwa menggeleng cepat, ia masih ingin mendapatkan jawaban yang puas, dan bukan sekadar kata mereka.

"Bun! Jawab dulu. Mas Akbar ke mana? Apa benar dia kecelakaan? Bun ... Najwa ingin ikut Mas Akbar!" tangisan yang hampir terhenti, kini kembali merajalela. Najwa seperti hilang kendali.

Dini menggeleng cepat, genggaman tangannya semakin erat. Najwa tergeletak tak sadarkan diri. Hal ini membuat Dini kepanikan, ia pun langsung menghubungi salah satu dokter keluarga ialah dokter Haris.

Najwa yang telah dibopong ke kamarnya, kini tidur tak berdaya. Andi yang baru saja menyelesaikan urusannya terlihat memendam amarah. Siapa yang tega melihat anaknya dilukai seperti ini? Siapa yang akan bertanggungjawab?

"Daya tahan tubuhnya menurun, diusahakan jika terbangun paksakan untuk makan. Ini resepnya bisa ditebus di apotek," ucap dokter Haris.

"Terima kasih, Dok."

"Diusahakan Dik Najwa jangan terlalu memikirkan apa pun. Kondisi lagi tidak stabil, buatlah dia senyaman mungkin." Dini hanya mengangguk.

"Saya permisi. Semoga lekas membaik." Dokter Haris yang langsung berlalu.


Andi mengepalkan tangannya. Bagaimanapun keluarga Jaka harus membayar seluruh kesakitan yang dirasakan Najwa. Gadis yang dijaga dengan penuh kasih sayang, kini dikecewakan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Sama sekali tidak adil.

"Saya harus memberikan perhitungan!" Andi yang berlalu dengan seluruh amarahnya.

"Mas!" cegah Dini, tapi Andi sudah berlalu jauh dengan mobilnya. Lagi pula Dini tidak mungkin menyusulnya. Mengingat Najwa sendirian dengan seluruh sakit yang mengiris hati dan raganya selama ini.

"Maafkan Bunda, Nak," gumam Dini. Sesekali kecupannya mendarat di kening putrinya.



.

Akhirnya post juga.
Jangan lupa krisarnya, teman-teman.

Teti Nurhayati

Liku Najwa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang