Part 14

17 1 0
                                    

Woobin serta-merta bangkit berdiri begitu melihatku melangkah menuju dapur. "Eomma, aku pergi dulu," ucapnya, kemudian melangkah menuju pintu rumah dan melewatiku begitu saja. Bahkan melirik kepadaku pun nampaknya dia tidak sudi. Membuatku semakin sebal melihatnya.

Aku bergerak menuju meja makan. Duduk manis di kursi dan siap menyantap sarapanku. Sementara ibu sedang sibuk membersihkan ikan teri kering.

"Ibu kecewa denganmu," kata ibu kepadaku. Siap untuk mengomeliku pagi-pagi. "Kau selalu keluar rumah selagi kakek dan nenekmu ke sini. Kenapa sih kau tidak mau meluangkan waktu barang sebentar dengan mereka?"

"Aku sibuk," sahutku.

"Segitu sibuknya, ya?" tanya ibu dengan nada kesal. Aku diam. "Ya! Seharusnya kita yang mengunjungi mereka, bukan mereka yang mengunjungi kita ke sini. Tapi, selama mereka di sini, kamu malah keluyuran."

"Aku tidak keluyuran!" kataku dengan suara cukup tinggi. Aku bahkan menghentakkan sendok di tanganku ke atas meja, hingga menghasilkan bunyi yang cukup membuat pergerakkan tangan ibu terhenti.  Ia menatapku dengan ekspresi kaget. Sebelum ibu sempat membuka suara, aku sudah dahulu bangkit dari kursiku dan berucap, "Jalmogesumnida. Aku pergi ke kampus dulu."

"YA!" Ibu berteriak ke arahku yang melangkah menuju pintu. "Kau dan oppamu ada masalah apa, sih?" tanyanya.

"Tidak ada masalah apa-apa," sahutku sambil memasang sepatu.

Ibu terdengar menarik napas panjang, kemudian berkata, "Baik-baiklah dengan oppamu. Dia sudah menjalani banyak kesulitan selama ini. Arraseo?"

Aku tidak menggubrisnya. Dan, melangkah keluar begitu saja.

-

Hari ini tidak ada kelas, tapi aku berangkat ke kampus pagi-pagi untuk melanjutkan tugas penelitianku di perpustakaan. Setibanya di gedung perpustakaan, aku tidak bisa masuk karena kartuku tidak ada. Aku sudah membongkar isi tasku. Mengecek berkali-kali di dompetku. Tapi, tidak ada.

"Sial!" Aku mengumpat kesal. Ke mana sebetulnya perginya kartu itu?

Aku menelpon Kyung Hee dan mencoba meminjam kartu perpustakaan miliknya.

"Kau di mana?" tanya Kyung Hee.

"Aku di depan pintu masuk."

"Oke, aku ke sana," kata Kyung Hee.

Kyung Hee rupanya sudah ada di kampus begitu aku telpon. Dia baru saja selesai menemui Bu Ahreum untuk membahas topik penelitiannya. Setelah mendapat panggilan dariku, dia bergegas menuju gedung perpustakaan.

"YA! Ini," ucapnya sambil menyerahkan kartunya.

"Gomawo, Kyung Hee yya. Jinjja gomawo."

Tapi, belum sempat masuk ke perpustakaan, ponsel di tanganku bergetar. Panggilan dari nomor yang tak dikenal.

"Siapa?" tanya Kyung Hee yang melihatku mengerutkan kening.

"Molla—nde, yobeosaeyo?"

"Yobosaeyo?" Suara terdengar menjawab sapaanku.

"Nugusaeyo?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, si penelpon malah menyuruhku bergegas menuju gedung kemahasiswaan. Ada sesuatu yang terjadi di ruang club fotografi. Katanya Kim Woobin tak sadarkan diri.

Tiba-tiba perkataan ibu kembali terngiang-ngiang di telingaku, 'Baik-baiklah dengan oppamu. Dia sudah banyak mengalami kesulitan selama ini.'

"Kau harus ke sini? Sepertinya dia harus segera di bawa ke rumah sakit," ucap si penelpon lagi.

Maginot Line (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang