Part 2

39 1 0
                                    

Oh, Tuhan!

Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau tidak dengan pengumuman yang kulihat pagi ini. Bu Hanah, yang sudah menjadi suvervisorku di awal semester ini memutuskan untuk melepaskan seluruh mahasiswa bimbingannya dengan alasan program doktoral yang ia terima. Ia akan berangkat ke Groningen di akhir bulan ini. Oleh sebab itu, aku dan beberapa teman serta senior yang berada di bawah bimbingannya, harus dipencar ke beberapa dosen lain. Dan, Professor Caleb Jo menjadi suvervisorku yang baru.

"Daebak!"

Entah sudah berapa kali Kyung Hee berseloroh mengucapkan kata 'daebak' sejak di telpon hingga kami bertemu di kampus. Sementara aku masih syok dan belum bisa berkomentar apa-apa. "Kau tahu, ada banyak mahasiswa yang iri denganmu. Mereka berharap merekalah yang mendapat kesempatan dibimbing oleh Profesor Jo."

Ya, ya, ya. Mahasiswa mana di jurusan ini yang tidak mengenal dosen top sekelas Profesor Caleb Jo? Dia adalah salah satu dari segelintir dosen yang sudah mendapat predikat profesor diusianya yang masih muda. Selain itu, kelasnya juga selalu menjadi rebutan mahasiswa. Ada banyak yang ingin diajar dan dibimbing olehnya. Selain karena dia berasal dari Amerika dengan latar belakang pendidikan yang cemerlang, Profesor Caleb juga terkenal sebagai professor model—maksudnya, dia punya postur dan wajah tampan sekelas model-model papan atas.

"Dia adalah dosen terfavorit sepanjang masa," ucap Kyung Hee begitu kami berjalan menuju kantin kampus.

"Tapi, pelit nilai," kataku menimpali.

"Ya," kata Kyung Hee dan tampak setuju, "aku mendengar beberapa senior mengatakan seperti itu.

"Kau tahu kan targetku di semester ini adalah mendapat A di semua mata kuliah? Tapi, rasanya semuanya mustahil sekarang."

"Ah, gwenchana," kata Kyung Hee seraya menuju meja bar kantin untuk memesan menu favoritnya. "Aku yakin kau bisa. Lagipula kau dapat nilai bagus di kelas perkembangan, kan?"

Aku mengangguk ragu. "Iya, sih. Tapi, aku tidak begitu yakin kali ini."

"Tenang saja. Kau pasti bisa, kok."

Aku tersenyum mendengar perkataan Kyung Hee. Dia selalu bisa membesarkan hatiku. "Machiato," kataku pelan.

"Mwo?"

"Aku pesan machiato."

"Ah..."

-

Aku dan Kyung Hee berdiri di tengah-tengah kantin. Mengedarkan pandangan untuk mencari meja kosong yang bisa kami tempati. Tapi, tiba-tiba seseorang datang dan merebut begitu saja nampan di tangan Kyung Hee. Membuat Kyung Hee terkejut, namun tersenyum beberapa detik kemudian.

"Eiguu..." Aku berdecak melihat Kyung Hee yang mengekor bahagia di belakang Jongsuk. Mereka bergerak menuju meja di sudut kantin. Tapi, di sana ada Woobin. Sial! Aku tidak bisa ke sana kalau begitu.

"Ya! Kau mau berdiri di sini berapa lama?" aku sontak menoleh dan mendapati Kyunsang berdiri menjulang di sampingku. Astaga! Jantungku serta-merta berdebar luar biasa melihat Kyunsang tersenyum dan mengambil nampan di tanganku. Aku mau tidak mau ikut mengekor di belakangnya. Menyusul Jongsuk dan Kyung Hee yang sudah bergabung di meja Woobin.

Aku mengambil tempat di samping Kyunsang. Di depanku, Jongsuk dan Kyung Hee sedang asik bercanda. Walaupun kami berada di satu meja, tapi kami rasanya berada di dunia yang berbeda dengan mereka berdua. Mereka tidak peduli dengan sekitar. Seolah-olah dunia hanya miliki mereka berdua. Dan, yang paling menyebalkan adalah Kim Woobin. Dia sama sekali tidak mau menatapku, adik semata wayangnya. Dasar kakak durhaka.

Maginot Line (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang