Extra Part --- Daffa 4 (re-post)

29.2K 930 16
                                    

Akhirnya aku menghabiskan waktu esok harinya dengan memastikan bahwa Bila sudah sehat. Siang hari setelah meyakinkan bahwa dia sehat, aku memutuskan pulang ke Bandung. Sejujurnya, ini adalah keputusan yang sangat sulit, bagaimana bisa aku pergi meninggalkan seorang yang akhir-akhir ini ada di otakku ditambah dia baru saja sembuh dari sakitnya. Aku khawatir. Satu minggu, aku meyakinkan diri sendiri bahwa waktu satu minggu itu akan cepat berlalu dan kami akan bertemu lagi.

-Jangan lupa makan-

Aku memandang ponselku untuk yang ke sekian kali. Sudah hampir satu minggu kembali ke Bandung dan kami hanya bisa berkirim pesan. Aku tidak sanggup untuk melihat wajah dan mendengar suaranya jika itu hanya akan membuatku semakin ingin pergi ke kota itu segera. Hah, aku tidak menyangka bisa menjadi bergantung dengan wanita ini hanya karena hubungan malam.

Satu kali lagi aku melihat ponsel dan pesanku masih saja belum dibalas. Ada apa dengan Bila? Dia tidak sakit lagi, bukan?

"Assalamu'alaikum."

Akhirnya aku bisa mengembuskan napas lega saat jawaban dari ujung panggilan.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu tidak membalas pesanku, Bila? Lalu, kenapa juga suaramu serak begitu," tanyaku saat menyadari suara Bila sedikit berbeda.

"Tumben telepon?"

Aku mendengus bosan mendengar kalimat tanya darinya. "Jawab dulu baru bertanya."

"Aku belum sempat bales, kepalaku agak pusing. Itu juga mungkin penyebab suaraku serak. Lalu, kenapa telepon?"

"Aku khawatir," kataku pada akhirnya.

Hening, tidak ada jawaban dari Bila. Aku sampai menjauhkan ponsel hanya untuk memastikan bahwa panggilan kami masih terhubung.

"Aku hanya pusing seperti minggu lalu. Lagi pula, hari ini istirahat jadi besok pasti sembuh. Kak Daffa kapan pulang?"

Pulang? Ah, aku baru saja ingat kalau beberapa jam yang lalu hrd mengabarkan kalau aku harus ikut training karyawan yang akan diadakan besok Sabtu. Kalau saja tidak wajib, aku pasti menolak datang dengan segera.

"Justru itu, aku juga mau memberi tahu kalau ada kerjaan jadi buat minggu ini tidak bisa ke sana. Awalnya mau minta kamu yang ke sini, tetapi sepertinya tidak mungkin. Kalau begitu kamu istirahat saja, ya."

"Jadi Bang Toyib?" jawaban Bila terdengar tidak bersemangat. Entah hanya perasaanku saja atau sebaliknya.

"Terpaksa, aku tutup telponnya, ya. Sudah jam kerja!" putusku kemudian. Aku tidak siap untuk berlama mendengar suara Bila yang hanya akan membuatku ingin pergi menemui dan membuatnya tertawa. Ah, Daffa! Sepertinya kamu benar-benar sudah terkena candu.

Selesai dengan Bila, aku langsung melakukan panggilan kepada Didi. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini.

"Ayolah, Di! Sebentar saja, kamu bisa mampir ke rumah Bila sebelum bimbingan, kan? Pastikan dia baik-baik saja dan bawa ke rumah."

"Tapi, Kak! Didi bisa telat ini, jarang jarang tuh Dosen ada waktu begini. Ayah udah ngomel-ngomel gegara aku nggak lulus-lulus."

"Sekali ini saja, Di. Lagian aku yakin kalau Ayah justru akan memarahimu kalau tahu kamu tidak mau mengecek Bila."

"Jadi, Kakak ngancam mau lapor sama Ayah? Hah! Oke-oke, Didi ke tempat Kak Bila sekarang. Pokoknya kalau sampai tahun ini aku masih belum bisa sidang dan lulus, itu salah Kakak, ya."

Aku tersenyum senang mendengar jawaban dari Didi. Walaupun awalnya dia menolak untuk menengok Bila dengan alasan skripsi, akhirnya dia tetap pergi. Sekarang aku tidak perlu khawatir lagi.

BilaWhere stories live. Discover now